Perjalanan Mencari Kacang



DISCLAIMER
Butuh waktu panjang dan pergumulan batin yang sangat hebat hingga akhirnya saya memutuskan merilis riding report yang tertunda ini.
Persamaan nama karakter, orang hidup maupun yang sudah meninggal hanyalah kebetulan belaka.

LET'S ROLL!!
Pagi itu, sebuah pagi di Hari Minggu yang sangat cerah. Tanggal 23 September 2012, aku masih ingat betul. Karena file foto-foto menggunakan tanggal pemotretan sebagai penamaan, jadi sebenernya tinggal lihat nama file aja sih..haha..


Waktu belum genap menunjukkan jam delapan pagi dan aku sudah siap di depan pintu bengkel mas Iwan. Sebuah dealer sekaligus bengkel resmi BAJAJ di Kota Pati (kala itu).



Selama ini aku mendengar kalau Pati merupakan salah satu kabupaten yang subur. Slogan kabupatennya aja sudah gegap gempita akan kesuburan daerah itu: PATI, BUMI MINA TANI. Yang artinya, Pati merupakan bumi yang berhasil dalam pertanian dan perikanan. Salah satu hasil pertanian yang sangat terkenal di Pati ialah KACANG! Tak heran di dalam kabupaten ini terdapat dua pabrik pengolahan kacang menjadi berbagai produk makanan terbesar di Indonesia. Karena blog ini sama sekali tidak disponsori salah satu dari produsen itu, maka saya hanya akan menyebut inisial mereka saja. Kelinci Dua dan Garuda Kacang.
Aman...

Beberapa hari sebelumnya kami berdua sudah sepakat akan melakukan perjalanan menuju bagian utara kota untuk pencarian kacang terlezat. Bayangkan! Mencari kacang terlezat di dalam sebuah daerah penghasil kacang terbaik. Jadi, kami akan menjalankan misi mencari kacang terbaik dari yang terbaik.

The best peanut among all.

Keren nggak tuh?

Perjalananpun dimulai. Tanpa dugaan, ternyata mas Iwan tidak mau mengendarai sepeda motornya sendiri. Dengan alasan efisiensi, dia memutuskan duduk tenang di jok belakang motorku.

Mbencong

Eh..Mbonceng!

Nggak papa lah, siapa tau nanti kami akan melewati sebuah air mata bertuah dan tiba-tiba mas Iwan berubah jadi seorang wanita cantik. Kan lumayan jadi bisa boncengin cewek. qiqiqiqiq..

Fokus! Kacang!

Oke, fokus.

Kami meninggalkan kediaman beliau di Jl. Ronggowarsito, Pati menuju utara.
Jalanan Kota Pati cukup 'ramah', walau tidak terlalu lebar untuk ukuran jalan protokol. Sebagai aligator..eh..navigator, mas Iwan cukup tanggap memberitahukan rute sebelum aku menoleh untuk bertanya.

"Belok kiri! Belok kanan! Lurus aja terus! Gang depan kiri, bang! Dari depan lima ribu, kan?"

Fokus! Kacang!

Oke, fokus.

Dia memberi arahan untuk berbelok ke kiri di sebuah pertigaan. Jalur mulai menanjak. Jalanan yang tadinya halus, kini mulai berubah dengan munculnya beberapa lubang di jalan, seperti umumnya track pegunungan. Namun, lama kelamaan track semakin menyempit, jalan makin terjal dan tidak rata.
Kira-kira 10 km melaju ketika kami bertemu dengan rombongan wayang orang yang sedang mempersiapkan panggung untuk pertunjukan di sebuah lapangan sepakbola desa.

Beberapa orang berada di sebuah bangunan loket kecil di sisi jalan. Salah seorang diantaranya keluar dan melambaikan segepok tiket kepada kami. Karena jalan disana menanjak dan cukup terjal, aku menarik gas cukup keras melewati orang-orang itu, mengantisipasi motor yang tidak kuat mendaki dengan beban dua orang dan tiga box di atas motor. Belakangan baru aku tahu kalau lapangan itu merupakan perbatasan dua kabupaten, Pati dan Kudus. Dan orang yang melambaikan karcis, yang semula kukira petugas loket pertunjukan, ternyata adalah petugas 'perbatasan'. Seharusnya kami membayar tiket untuk lewat.

Terus menanjak, akhirnya kami tiba di sebuah desa bernama Colo. Cukup ramai disana, karena Colo merupakan desa yang memiliki tempat tujuan wisata relogo, yakni Makam Sunan Muria. Beberapa pengendara motor mengenakan rompi tampak lalu lalang. Belasan, puluhan atau mungkin ratusan jumlah mereka. Bukan gank motor, tapi tukang ojeg.

Melewati rombongan peziarah, kami memutuskan untuk pertama-tama tetap ke barat daya. Turun gunung.
Daerah pegunungan yang masih asri dengan pepohonan rindang turut mengantarkan perjalanan kami. Berpapasan dengan kami, beberapa bus pariwisata besar pengangkut peziarah. Sebuah bus keluaran lama dengan asap hitam yang mengepul dari kenalpot tampak kewalahan menaklukan jalur Gunung Muria itu. Merayap bagai siput di sebuah tanjakan yang menikung, sementara di belakangnya beberapa bus keluaran terbaru tampak tak sabar menunggu 'kakek tua' itu bisa mendaki, namun tidak dapat menyiap karena lebar jalan dan kondisi lalu lintas yang tidak memungkinkan.

Terus turun, melewati perkebunan warga, kami tiba di sebuah tempat wisata. Kolam Renang Mulia Wisata, Kudus (-6.711237,110.882582).
Loh..mau cari kacang, tapi kok berhenti di kolam renang?

Tenang, Saudara-saudari sekalian, kita cari 'pemandangan segar' dulu pagi ini.


Biaya masuk yang tak lebih dari sepuluh ribu rupiah per orang, membuat kolam renang itu cukup padat pengunjung. Mengeluarkan kamera DSLR-nya, mas Iwan mulai berkeliling memotret.
Saya? Cukup duduk manis di loby kolam renang sambil menikmati sebotol teh dingin saja.

Cukup lama ia berkeliling, hingga akhirnya bergabung bersama saya di loby. Masih memegang kamera mahalnya, ia mulai memberikan semacam kursus singkat dari hobi barunya itu. Tentunya saya yang awam kamera DSLR hanya manggut-manggut mengikuti ceramah beliau.

Menjelang siang, kami meninggalkan Kolam Renang Mulia Wisata, Kudus. Destinasinya aneh. Kembali lagi ke atas. Ke Colo.

Kembali memasuki kawasan hutan, dia menepuk pundakku dan menyuruh belok ke kanan, ke Rumah Makan Kebon Ibu (-6.675871,110.895415) untuk sarapan.
Cukup terlambat untuk sarapan, sebetulnya. Maka, mari kita gunakan bahasa asing untuk kegiatan siang itu. Brunch.

Sebuah kompleks tempat makan yang sangat asri. Rumah makan yang dikonsep menyatu dengan alam pegunungan. Walaupun berada di sebuah pegunungan, namun arsitek yang merancang tempat itu cukup lihai dalam memanfaatkan kondisi tanah miring secara maksimal.
Beberapa pondokan dibuat merumpun menyesuaikan kontur tanah. Pun begitu dengan taman bunga, kolam ikan, area bermain anak, tempat budidaya tanaman hias dan pembiakan kelinci dan burung.






Sayang sekali saya tidak menemukan kebun kacang di dalam rumah makan itu. Yang saya temukan adalah pemandangan aneh ini. -_-


Baiklah, setelah kenyang dan puas mengambil beberapa foto, kami kembali berkendara ke Colo. Berbeda dengan saat turun tadi, ketika saya hanya membunyikan klakson kepada petugas gerbang wisata, kali ini saya harus berhenti untuk membayar karcis masuk. Sebuah sepeda motor dan dua orang dewasa dimahar tak lebih dari lima belas ribu rupiah.

Kembali melintasi pos ojeg Colo, kami terus berkendara ke atas. Cukup padat kondisi jalan di depan sebuah masjid besar itu oleh antrian sepeda motor ojeg. Kami berada di tengah-tengah deru kenalpot mereka yang tak sabar untuk terus melaju, naik menuju makam Sunan Muria maupun turun menuju tempat parkir.

Sekedar informasi, jika Anda seorang muslim yang hendak berziarah ke makan Sunan Muria di Colo, Kudus ini, wajib hukumnya untuk menyewa ojeg menuju makam yang lokasinya berada di gunung itu, sementara sepeda motor, mobil dan bus pengangkut peziarah harus istirahat manis di lahan parkir.

Ketika kami meneruskan perjalanan, beberapa pengojek sempat meneriaki kami karena tidak menggunakan jasa mereka.
Sebodo amat!
Tujuan kami berikutnya bukan ziarah ke makan sang sunan, tapi menuju Air Terjun Montel, yang kebetulan searah dengan makam.

Niat hati ingin melaju santai menikmati udara pegunungan yang sejuk, tapi para pengojek tidak mengizinkan kami melakukannya. Cara mereka berkendara sungguh diluar nalar.
Koyo ra nduwe udel!
Seperti nggak punya pusar!
Seakan dari kecil mereka diajarkan untuk tidak mengenal tuas bernama rem dalam kendaraan mereka. Jalan pegunungan yang curam dan penuh tikungan tajam dilibas dengan sangat mudah, bahkan tak jarang beberapa dari mereka balapan satu sama lain.
Hampir sama seperti supir bus, nampaknya para pengojeg ini menerapkan sistem "kejar setoran". Makin cepat mereka kembali ke pool, makin cepat pula mereka akan bisa mendapatkan penumpang lagi. Uang yang terkumpul juga semakin banyak.
Selain berziarah ke makam sunan, para peziarah dapat dengan intensif dekat dengan Tuhan. Betapa tidak? Disinilah mental dan keimanan para peziarah yang menggunakan jasa ojeg akan diuji. Melintasi medan seperti itu dengan terus ngegas, pasti para penumpang akan lebih sering memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, sementara para tukang ojeg akan mendapat pahala karena membuat orang lain rajin berdoa.
Cukup fair.

Moto GP mah kalah.

Tak sampai separuh perjalanan menuju makam, kami berhenti di sebuah warung yang menyediakan jasa tempat parkir motor. Dari situ kami berjalan menuju air terjun.
Di sekitar air terjun pasti tanahnya subur, siapa tahu ada kacang terbaik disana.

Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak sempit. Tak jarang kami harus menepi ke sisi tebing untuk agar pengunjung dari air terjun dapat lewat, sementara di sisi lain jurang. Jalan tanah yang mendaki dan terkadang turun. Makin panas cuaca siang itu ketika akhirnya kami tiba di sebuah pos. Harus beli karcis lagi untuk dapat menikmati air terjun. Lima ribu rupiah per orang, kalau tidak salah ingat. Beberapa ratus meter setelah pos tadi, sampailah kami di tempat tujuan.


Air Terjun Montel! (-6.666568,110.900747)

JENG..JENG..!!!

Kering...



Musim kemarau yang cukup panjang tahun itu juga membuat sumber mata air di Gunung Muria menyusut drastis.
Bukan hanya gagalnya kami menikmati pertunjukan air terjun, namun petugas loket yang tidak memberikan informasi bahwa tidak ada air di sana.

"Air terjun sama pipisku, lebih kencengan pipisku." Celetuk seorang pengunjung yang juga kecewa dengan kondisi itu.

Beberapa ratus meter di sisi lain gunung terdapat sebuah air terjun lagi, bernama Air Terjun Pelangi. Terpaksa kami membatalkan niat untuk mengunjungi yang kedua setelah mendapat informasi dari beberapa orang pramuka, bahwa kondisi di sana tak jauh berbeda.
Setelah mengatur nafas, mengambil beberapa foto dan melupakan rasa kecele, kami memutuskan untuk pulang.

Melewati jalur yang sama seperti ketika kami tiba dari kota, di sebuah desa tiba-tiba mas Iwan kembali menepuk pundakku untuk berbelok ke kiri mengikuti sebuah rambu-rambu bertuliskan 'Waduk Gembong'. Menyusuri jalan desa yang lebih sempit. Tak sampai 200 m, kami disuguhkan dengan pemandangan yang menakjubkan.

Sebuah waduk yang airnya surut.




Bulan itu rupanya merupakan bulan terkering, sehingga permukaan air di waduk juga surut. Sekilas malah tampak seperti hamparan padang golf. Beberapa warga desa menggembalakan ternak di tepian air waduk. Tak terlalu banyak pengunjung sore itu.

Ah..seandainya air waduk ini tidak surut, pasti waduk itu digunakan untuk sarana pengairan, dan salah satunya mungkin untuk mengairi kebun kacang milik warga. Kacang terbaik yang dapat ditemui dan diolah menjadi berbagai cemilan bernilai ekonomis tinggi.

Meskipun waduk itu cukup luas dan berpotensi tinggi sebagai obyek wisata, namun saya tidak menemui adanya warung di sekitar waduk. Mungkin saja jika ada warung, saya dapat saja beruntung mendapatkan kacang terlezat diantara hasil bumi terbaik negeri ini.

Menikmati sunset. Mentari sore yang sinarnya memantul di sisa-sisa air di dasar waduk seakan turut mengantarkan kami pulang, kembali ke kediaman mas Iwan di Pati.


Gagal mendapatkan kacang terlezat diantara yang terbaik karena kondisi alam yang kurang bersahabat dengan para petani, saya memutuskan pulang ke Semarang. Masih kurang lebih 75 km lagi menuju rumah. Di sela perjalanan pulang itu, akhirnya sejenak saya berhenti di sebuah kios jajan milik salah satu pabrikan kacang besar di batas barat Pati untuk membeli jajanan olahan kacang sebagai buah tangan. (-6.764937,111.011499)

Bukan kacang terlezat dari yang terbaik yang bisa saya dapatkan langsung dari kebun para petani dari tanah Pati, bumi Indonesia, namun cukuplah untuk mengobati kekecewaan saya hari itu.



Sekian
XP

Komentar