Luk 11:9



LOKASI 
Pondok Maria Medali Wasiat Jatirejo, Rembang

Alamat: Dukuh Jatirejo, Desa Grawan, Kec. Sumber, Kab. Rembang, Jawa Tengah

Koordinat: 6° 47' 16.8" S 111° 17' 20.4" E


DISCLAIMER
Cerita ini berisi perjalanan menuju tempat-tempat ziarah yang disucikan bagi umat Katolik. 
Cerita ini tidak bertujuan untuk memaksakan iman kepada umat penganut kepercayaan lain





Awal Januari 2014

Belum genap jam setengah satu siang itu dan hujan gerimis baru saja berhenti. Mendung tak terlalu pekat, tapi hawa panas dan lembab seakan memenuhi tiap sudut warung kecil berlantai tanah dengan sisa bungkus-bungkus makanan dan gumpalan tanah sawah berserakan ini. Kuletakkan cangkir kopi yang isinya baru saja sedikit kuhirup. Bukan kopi hitam favoritku, memang, tapi kopi instan buatan Bu Sarpan, sang pemilik warung, itu cukup dapat menyegarkan badanku. Sesekali aku ikut tertawa mendengar celotehan beberapa orang yang sedang berada di dalam warung, walau ada beberapa dialog mereka yang tak terlalu kupahami. Sambil melihat catatan yang sudah kubuat dalam aplikasi notes diponsel, kunikmati lagi sisa kopi yang sudah mulai dingin di dalam cangkir itu.

Warung kecil dan sederhana itu berada tepat berseberangan dengan pintu gerbang sebuah bangunan. Pagar besinya tak terlalu tinggi. Hanya terbuat dari BRC. Kalaupun ada orang yang berniat ingin masuk dan mengambil barang-barang di dalamnya pun tak perlu banyak mengeluarkan tenaga. Tapi, semoga tidak ada yang berniat melakukan hal itu. Tak jelas bagaimana bentuk bangunan dengan model tembok bata ekspose itu, karena pelataran bangunan yang hanya muat dua buah mobil itu sudah tertutup dengan atap kanopi alumunium. Hanya Sebuah pelat besi berwarna biru langit terpasang di sudut kanan atas pagar. Tak terlalu besar, lagi penempatannya sejajar pagar. Sebuah tata letak yang membuatku bingung menemukan tempat ini. Pondok Maria Medali Wasiat Jatirejo.





Berlokasi di Dukuh Jatirejo, Desa Grawan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pondok doa yang dibangun tepat di belakang 'gedung' Gereja Stasi Jatirejo, Paroki Rembang ini baru kira-kira setahun dibuka untuk kegiatan kerohanian. Tak seperti pondok doa, gereja yang tepat berada di tenggara perempatan dukuh itu sama sekali tidak memiliki identitas yang terpampang baik di pagar depan, samping, maupun temboknya. Hanya sebuah kayu salib dengan cat merah yang tidak merata berada di halaman depan gereja.



Mengenakan baju terusan bermotif bunga dan sebuah celemek putih kumal dari kain bekas karung gandum, Bu Sarpan sesekali berlari ke halaman rumahnya untuk menimbang gabah kering milik pelanggannya. Sang suami sedang berada di sawah kala itu. Kebetulan Pak Sarpan yang didaulat sebagai kepala stasi periode ini.

Sudah kurang lebih satu jam aku tiba di lokasi itu setelah melakukan perjalanan dengan rute yang awalnya kuanggap agak meragukan dengan bermodal informasi mengambang yang kudapat dari teman kantor bahwa ada tempat doa cukup baru di pantura, dan berbekal peta 'semi buta' dari seorang petugas kantor Pasturan Paroki Rembang yang sudah kumintai informasi sebelumnya.


Kondisi di dalam pondok doa siang itu sungguh memprihatinkan. Ruangan seluas kurang lebih 5,5 x 7 meter persegi itu sangat kotor. Tepat dibalik pintu kaca yang dibukakan oleh Bu Sarpin, terdapat sebuah meja kayu, sebesar meja sekolah. Berbagai buku, teks lagu, dan kertas berantakan diatasnya. Beberapa pilar beton penyangga struktur atap berdiri kokoh di tengah ruangan, seakan membaginya menjadi tiga bagian sama besar. Masing-masing di sayap kanan dan kiri ruangan itu masih terbentang karpet tipis. Kondisinya sama: berdebu. Di bagian belakang ruangan tertumpuk kursi-kursi plastik.

Sebuah panti imam berada di ujung ruangan itu. Tentunya berukuran lebih kecil dan gelap. Sebuah altar kayu berbentuk unik berada di tengahnya. Sebuah salib dari kuningan dan dua buah lilin besar berada di atasnya. Berdebu. Kucoba nyalakan salah satu lilinnya hanya untuk sedikit memberikan bantuan cahaya untukku bisa melihat lebih jelas kedalam. Sebuah patung Bunda Maria diletakkan tepat di tengah tembok panti imam. Beberapa sakelar lampu kujumpai di sudut-sudut ruangan, namun lampu-lampu tak menyala ketika kutekan beberapa sakelar itu. Mungkin aliran listrik sengaja dipadamkan dari meteran listrik untuk menghemat pengeluaran.




Menyudahi doa siang karena terganggu oleh raungan mesin motor pemuda kampung setempat yang mondar-mandir di jalan desa itu, ternyata Bu Sarpan dan seorang lelaki tua sudah menungguku di luar pondok. Nama laki-laki itu Pak Tri. Badannya kurus dan kulitnya cokelat tua. Walaupun keriput menghiasi wajahnya, namun beliau tetap ceria dan bersemangat mengisahkan sejarah tempat itu. Sayang suaranya agak lirih, membuatku harus beberapa kali menyondongkan badan untuk dapat mendengar cerita bapak dua anak ini.


"Saya pindah ke desa ini tahun 1960-an." Kata beliau membuka ceritanya.
"Saya lahir tahun 1956. Keluarga besar kami sebenarnya berasal dari Klaten. Sriningsih."

Wao..sejauh itu hijrah ke tempat terpencil ini demi apa?
Namun, sebelum pertanyaan itu terlontar, beliau melanjutkan ceritanya.

"Dulu desa ini hanya alas (jawa: hutan). Hanya ada beberapa penduduk saja yang tinggal disini, dan jarak antar rumah sangat jauh. Tanah di desa ini tidak menghasilkan. Sawah, ladang, bahkan mata air tidak dapat membuat hidup warganya sejahtera."

Lah terus?

"Ada seorang 'mandor' (mungkin istilah seorang utusan dari desa atau pemerintah lokal kala itu) yang mendapat penglihatan dalam mimpinya, bahwa hal yang terjadi di desa ini merupakan ulah makhluk halus."

Seru nih..

"Sepasang lelembut yang mendiami tanah ini. Yaa..lokasi gereja ini." Tambah beliau sambil menunjuk bangunan gereja stasi bercat warna pastel di belakangnya.
"Hanya seorang keturunan Kerajaan Mataraman yang bersih hatinya yang dapat menetralkan pengaruh buruk makhluk-makhluk halus itu."

"Dan sampailah mandor desa itu di desa kami, Sendang Sriningsih. Memang jika dirunut lagi, keluarga kami masih satu garis keturunan Mataraman. Dari sekian banyak orang, ayahlah yang sanggup untuk pindah kesini."

"Memang orang 'zaman dulu' sangat kuat untuk berpuasa dan bermati raga ya, mas." Katanya sambil tertawa. "Kalau saya dan saudara-saudara sudah tidak ada yang ikut jalan almarhum ayah."
"Bertapa sudah jadi kegiatan rutin ayah, sampai-sampai beliau dapat melihat malaikat penjaga Sendang Sriningsih. Sesosok malaikat bersayap di tengah sendang."

Lalu, apakah di desa itu juga ada malaikat penjaganya sampai dibangun gereja dan kini sebuah pondok doa?

"Tidak ada!" jawabnya "tentunya beliau tidak serta-merta menyanggupi tawaran pindah kesini. Setelah melakukan laku tapa, beliau mendapat petunjuk dari Sang Malaikat untuk tetap pergi."

"Lalu, teman saya disana siapa?" kata Pak Tri lagi seakan menirukan pertanyaan mendiang ayahnya pada Sang Malaikat.
"Jangan takut! Mintalah, kamu akan diberi. Gitu kata malaikatnya. Lah wong kami satu-satunya orang Katolik disini, mas."

Setelah lelembut (makhluk halus) berhasil diusir dari tanah desa, perlahan, mulai muncul sumber mata air. Sumur-sumur warga yang tadinya kering, sampai sekarang melimpah, bahkan pada musim kemarau. Tanah, sawah dan ladang juga mulai membuahkan hasil. Warga mulai hidup tenteram dan sejahtera. Mengetuk pintu kesejahteraan, dan Tuhan membukakannya.

"Ayah bukan katekis, jadi kami hanya hidup dan melakukan apa yang harus kami lakukan. 'carilah, maka kalian akan mendapat', Bukan berarti karena beliau sudah membantu desa ini, kemudian seluruh warga dipaksa untuk menjadi Katolik." Kata beliau sambil tersenyum.
"Lama-lama ada juga yang tertarik menjadi Katolik, dan akhirnya keluarga kami punya 'teman' disini" kenang beliau.

Hingga saat ini terdapat 15 kepala keluarga yang beriman pada gereja katolik.

Gereja stasi mulai didirikan dan diresmikan pada tahun 1970-an, dan Pondok Maria ini baru setahun yang lalu dibuka untuk tempat peziarahan umum.

"Romo Wid dari Jogja yang memprakarsai supaya dibuat tempat doa disini." Timpal Bu Sarpan yang kemudian kembali berlari ke arah warungnya karena ada pembeli.

Romo Wid siapa?

"Nggak tau, mas. Kami tau asma (jawa: nama -untuk orang yang lebih terhormat) beliau ya cuma Romo Wid dari Jogja. Itu aja." Kata Pak Tri lagi.

Usut punya usut, ternyata Romo Wid yang disebutkan adalah pastor pembantu di Paroki Rembang. Entah kenapa disebut dari Jogja..hihi..

Disini tidak ada sendang, mata air, kolam, gua atau bentuk khusus yang dipercaya memiliki tuah, seperti kebanyakan tempat ziarah. Murni sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat berdoa. Itu saja.

"Tiap Hari Kamis malam Jumat Wage ada kegiatan misa disini. Dari jam 5 sore sampai jam 7 malam. Setelah itu, ya pulang. Tidak ada acara tirakatan atau berdoa sampai malam. Kebanyakan yang datang malah dari luar Rembang. Dari Lasem, Tuban, Blora, banyak lagi deh, mas." Kata Bu Sarpan yang kembali bergabung ngobrol bersama kami.
"Banyak yang doa dan permohonannya terkabul disini, mas." Tambah beliau, "Mereka mau kembali lagi kesini. Seng (maksudnya atap kanopi alumunium) ini bantuan dari mereka. Biar yang datang dan berdoa jadi tambah banyak, katanya. Hahaha..."

"Hari minggu pertama dan ke-3 ada misa di gereja. Hari Minggu lain cuma ibadat sabda aja." katanya lagi yang kemudian didebat oleh Pak Tri tentang hari minggu kapan diadakan misa dan ibadat. Selama beberapa menit mereka memperdebatkan perihal perbedaan pekan. Misa di minggu pekan pertama dan ketiga, atau pekan pertama atau ketiga saja. Sudahlah..

Mengintip dari balik jendela gereja, luas bangunan itu tak jauh dari bangunan pondok doa di belakangnya. Tipikal kapel. Kecil, nyaman namun juga bisa memberikan kekhusukan ketika beribadat.


Hujan benar-benar telah reda, walaupun langit masih gelap. Aku memutuskan untuk berpamitan walaupun berat rasanya meninggalkan keramahan warga Jatirejo itu.

Sepanjang perjalanan, tiba-tiba aku teringat akan sebuah ayat dari Injil Lukas 11:9, "Jadi, Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka kalian akan diberi; carilah, maka kalian akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan untukmu."
Tuhan menjawab keresahan ayah Pak Tri dengan janji-Nya sendiri. Dan aku percaya bahwa segala yang terjadi selama perkembangan stasi itu memang seturut kehendak Allah.

Amin.






Eits..Lalu bagaimana cara tiba ke pondok doa ini?

RUTE
Dari pantura Rembang.
Anda dari arah barat Semarang, sampai ke pertigaan Desa Dresi (tidak ada tulisan identitas desa) kira-kira 7 km ke timur dari Kaliori, dengan papan penunjuk arah jalur alternatif. Pertigaan yang cukup kecil dengan lebar jalan tak lebih dari 8 meter, lagi pertigaan ini tertutup oleh gubug-gubug warga. Belok kanan, kalau belok kiri nanti Anda masuk ke tambak milik warga..hehe..


Ikuti jalan saja, dan nikmati pemandangannya. Tambak garam hingga menyusuri sawah-sawah padi.


Kondisi aspal cukup baik, dari total perjalanan mungkin hanya sekitar 30% saja yang rusak. Terus melaju saja sampai pada pertigaan jalur alternatif menuju Blora. Nama desanya Sekar Arum. Bingung? Silakan tanya arah kepada warga. Tenang, banyak desa dan ada sebuah pasar disana.


Belok kiri.

Lagi-lagi silakan nikmati keasrian pemandangan yang sudah disediakan Tuhan secara cuma-cuma melalui perantaraan tangan-tangan para petani.


Hingga kira-kira 2 km Anda akan tiba di Desa Grawan (warga setempat lebih suka memberikan tambahan 'NG' di depan kata agar terdengar lebih mantab. NGGRAWAN). Ada sebuah papan petunjuk menuju Jatirejo di sebelah perempatan kecil. Tertutup dahan, sehingga sukar ditemukan, namun lebih jelas keberadaaannya jika dilihat dari arah timur.


Masuk mengikuti arah penunjuk jalan itu. Dari perempatan ini jalan sudah mulai menyempit. Kira-kira hanya selebar mobil pribadi atau minibus saja. Permukaan jalan pada awalnya hanya susunan batu dan beberapa lapisan aspal tipis. Atau mungkin itu adalah lapisan aspal tipis dengan beberapa bagian yang sudah mengelupas. Beberapa ratus meter selanjutnya, Anda akan disambut dengan jalan yang lebih halus. Dan saya baru tahu kenapa bagian itu halus walaupun melewati kebun tebu warga, karena ada sebuah fasilitas penampungan air bernama Embung Grawan (di beberapa daerah, 'embung' mungkin bisa disebut sebagai 'setu').





Berjalan lagi kira-kira 500 meter dan Anda akan tiba di lokasi. Pondok Maria Medali Wasiat ini berada tepat di belakang gereja dengan salib kayu besar bercat merah di depannya. Tidak ada tulisan atau petunjuk arah lagi. Gereja berada tepat di perempatan, jadi Anda harus belok kiri untuk mencapai lokasi.

Bagaimana jika Anda datang dari timur (Rembang, dst) atau selatan (Blora, dst)?
Dari bundaran kartini Kota Rembang, menuju ke selatan, arah Blora. Kira-kira 6 km setelah tapal batas Kota Rembang, ada sebuah perempatan desa bernama Landoh. Belok kanan (atau kiri detelah 30-an km dari Blora) dan selama perjalann sampai Desa Grawan, Anda akan disuguhi trek yang sangat.....


TIPS

  1. Dari manapun Anda datang, lokasi ini cukup jauh untuk ditempuh. Siapkan fisik, baik jika ingin melakukan perjalanan menggunakan kendaraan bermotor, mobil , bus pariwisata, sepeda atau jika nekat mau jalan kaki sambil backpacking.
  2. Tidak ada angkutan umum untuk sampai ke lokasi tujuan. Menurut informasi, kalau mau nekat sewa ojeg dari Dresi atau Landoh, ongkos minimal Rp 50.000/ orang sekali jalan. Bisa jadi lebih mahal lagi. Maka, ada baiknya rencanakan perjalanan dengan matang. Naik apa, dengan siapa, kapan dan persiapan lain sebelum menuju lokasi.
  3. Pondok Maria Medali Wasiat Jatirejo ini hanya sebuah bangunan kecil untuk berdoa. Tidak ada rute jalan salib, gua, sumber mata air atau benda-benda yang bisa dianggap bertuah, walaupun ada sebuah sumur dengan pompa tangan disamping pondok. Ingat, Anda datang untuk berdoa. Berdoa itu dapat berarti menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan untuk mencari benda-benda pesugihan!
  4. Tidak ada salahnya Anda membawa bekal makanan atau minuman sebelum masuk ke lokasi. Walaupun ada warung Bu Sarpan, namun saya tidak yakin kalau semua orang dapat menikmati makan dan minum di warung khas pedesaan itu.
  5. Siapkan uang persembahan. Seperti yang sudah diuraikan diatas dengan panjang-lebar, ibaratnya kalau bercerita lisan, mungkin mulut saya sudah sampai berbusa-busa, bahwa tempat itu masih kotor dan perlu perawatan disana-sini. Tidak ada salahnya Anda mengisi kotak persembahan yang berada di dalam pondok. Tuhan melihat keikhlasan hati Saudara ^_^


Selamat berziarah



Salam, Hormat dan Berkah Dalem :)

Komentar