Exploring Bojonegoro (part 2)



INTRO
Sebagai sebuah kabupaten, Bojonegoro memiliki rentetan sejarah panjang, dari menjadi bagian Kerajaan Majapahit, peralihan Kesultanan Demak, Kerajaan Pajang, Kesunanan Mataram, hingga kini menjadi bagian dalam wilayah Provinsi Jawa Timur, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wilayah yang terbentang seluas 230 ribu Ha, yang juga dilalui oleh anak sungai Bengawan Solo ini memiliki kondisi geografis yang cukup unik. Pemerintah daerah setempat mencatat sebesar hampir 33% penggunaan lahan sebagai persawahan, hampir 43% sebagai hutan negara dan 24% tercatat sebagai lahan kering.
Ada apa di dalam daerah yang dibawah tanahnya mengandung cadangan minyak bumi di Pulau Jawa dengan curah hujan hanya sekitar 60 hari per tahun ini? Mari kita ekslporasi!

LET'S RIDE!
Saya nggak mau latah ikutan nulis judul cerita ini perjalanan 17-an atau semacamnya, walaupun perjalanan ini dilakukan tepat tanggal 17 Agustus. Sebut saja perjalanan biasa. Cukup riding santai lah..



Pagi itu, ketika hampir sebagian besar warga mempersiapkan diri mengikuti upacara bendera, bergabung dalam gegap gempitanya perayaan 68 tahun peristiwa proklamasi, aku terbangun sendiri di rumah kos. Semua orang pulang dengan berbagai alasan untuk berada di rumah hari ini. Tanggal merah, dan kemarin aku sudah mengumumkan libur kepada para pekerja.
Aku bekerja di bidang konstruksi. Seorang kuli yang dipercaya oleh atasan untuk membawahi lima orang lain untuk bekerja mengejar target.
Tidak ada aturan terkait hari libur kala itu. Biasanya pekerjaan boleh dilakukan setengah hari, siang hingga sore, dengan alasan menghormati hari kemerdekaan bangsa ini. Sebuah delusi? Entahlah.
Tapi aku ingin mencoba memerdekakan diri dengan tidak bekerja hari itu.

Libur sehari penuh!

Tapi ini diluar rencana ketika semua orang memutuskan untuk pulang. Sebenarnya aku juga ingin pulang ke Semarang, berkumpul bersama keluarga dan teman, servis Annette, terlebih ingin bersantai di rumah. Namun apa daya, karena di Hari Minggu kegiatan proyek tetap harus berlangsung, maka kepulanganku harus ditunda.

Teringat di Kabupaten Bojonegoro ini terdapat sebuah tempat wisata alam bernama Kayangan Api. Nama yang cukup unik dan membuatku selalu penasaran ingin berkunjung kesana. Siapa tau bisa ketemu bidadari hihihi..

7.30 pagi ketika aku meninggalkan warung pecel di dekat basecamp tempatku bekerja. Menuju jalan tembus antar desa. Entah aku sudah mulai terbiasa dengan kondisi jalan desa yang penuh lubang menganga. Jalan-jalan dengan lebar tak lebih dari tujuh meter, dengan lapisan aspal tipis pun sudah terkelupas disana-sini. Masyarakat secara swadaya berusaha menambal lubang-lubang yang dianggap membahayakan pengendara dengan tumpukan-tumpukan batu, sambil berharap agar jalan di desa mereka segera diperbaiki oleh pemerintah daerah.
Tidak banyak kutemui atribut memperingati HUT kemerdekaan (kata pemerintah) di beberapa desa yang kulalui. Hanya bendera merah putih lesu tertiup angin di ujung sebuah tiang besi atau bambu di depan setiap halaman rumah. Beberapa anak berseragam putih tampak tergesa memacu kendaraannya. Mungkin mereka takut dihukum karena terlambat ikut upacara.

Selebihnya?

Pasar tetap ramai oleh transaksi, beberapa orang tua pergi ke sawah, pemuda tanggung sudah asik nongkrong di warung kopi dan anak-anak kecil dekil dengan ingus kering asik bermain di depan rumah menunggu dimandikan oleh ibu mereka.
Satu atau dua anggota kepolisian melewatiku, mengendarai sepeda motor ngebut tanpa helm namun dengan wajah tampak serius memilih jalan agar kendaraan mereka tidak terperosok ke dalam lubang.
Beberapa titik seperti lapangan desa dan sekolah memang tampak ramai oleh peserta upacara yang menunggu prosesi setahun sekali itu akan dimulai. Setelah itu aku kembali melaju melewati perkampungan yang sepi.
Beberapa pencari kayu bakar juga nampak acuh dengan hari ini.

Di desa yang kulewati ini sangat jauh dari Bengawan Solo. Ada sebuah bendung di ujung desa, namun tidak berfungsi lagi karena aliran sungai hulu yang sudah mati. Tak heran jika Bojonegoro dikenal sebagai daerah kering.



Melewati sebuah pos penjagaan perhutani, aku mulai disambut dengan suasana rindang hutan jati. Suasana terasa senyap, dingin dan gelap. Hutan jati ini juga menjadi kuburan massal bagi para anggota PKI di era orde baru. Menurut cerita penduduk sekitar, pada malam tertentu dalam penanggalan jawa, di dekat sendang dalam hutan akan didapati sebuah 'pasar dedemit'. Sebuah tempat dengan kekuatan mistis cukup besar, tempat berinteraksinya para lelembut.

Oke..kok malah jadi cerita serem?

Terus melaju melalui hutan-hutan jati, dan baru sadar kalau aku salah ambil rute. GPS di ponsel tidak terlalu berguna di tengah hutan seperti ini, cuma akan bikin baterai cepat habis.


Setelah bertanya kepada penduduk sekitar, ternyata jalur yang kuambil tidak sepenuhnya nyasar. Hanya saja aku harus memutar lebih jauh. Paling nggak lebih nyaman lah ketimbang harus putar balik. Desa itu bernama Bubulan, yang kala itu sedang dipadati oleh warga yang ingin melihat upacara bendera di lapangan Balai Desa. Meninggalkan desa itu, kembali aku menyusuri hutan-hutan jati dan kebun tebu hingga menuju jalur utama menuju pusat kota.
Rambu-rambu menuju lokasi cukup jelas. Lajur dari Pasar Dander lebih 'bersahabat' karena memiliki jalur yang cukup lebar dengan permukaan jalan yang halus. Benar saja, karena tempat ini juga merupakan jalur kendaraan perminyakan.

Tak berapa lama akhirnya aku tiba di pintu gerbang Taman Wisata Kayangan Api.



Kukira setelah melewati gerbang utama, aku akan langsung tiba di lokasi, namun ternyata harus masuk lebih dalam lagi hingga benar-benar tiba di lokasi.


Sebuah gerbang kedua yang lebih kecil, dengan bentuk candi Hindu menjadi pintu masuk pengunjung. Seorang petugas menunjukkan tempat dimana aku bisa memarkirkan kendaraan. Tak banyak pengunjung pagi itu.


Melalui pintu gerbang itu, orang yang sama menyobek sebuah karcis masuk sambil acuh berkata, "Lima ribu! Buat masuk sama parkir." Merogoh kantong dan memberikan selembar uang lima ribuan, aku masuk ke dalam pelataran kedua sambil tetap memperhatikan selembar kertas kucel dengan tulisan Rp 3000,- di sudut kanan bawahnya.
"Dua ribunya buat sedekah" gumamku sambil tersenyum.


Pelataran yang cukup luas dan rindang. Beberapa kursi yang terbuat dari beton diletakkan di samping kiri pelataran. Ada beberapa kursi, namun tidak cukup nyaman untuk diduduki. Sebuah prasasti dengan ornamen menyerupai api cukup menarik untuk kudatangi. Prasasti yang ditulis diatas batu marmer yang sudah mulai berubah warna. Cukup kesulitan juga membaca tulisan di prasasti itu.




LEGENDA
KAYANGAN API ATAU API JALAN MENUJU KAYANGAN
DI DS. SENDANGHARJO KEC. NGASEM KAB. BOJONEGORO
ADALAH PETILASAN KI KRIYAKUSUMA NAMA SAMARAN
DARI EMPU SUPAGATI. SEORANG EMPU PEMBUAT KERIS
DI JAMAN MAJAPAHIT. DI TEMPAT INILAH KI KRIYAKUSUMA
BERTAPA SAMBIL MENEKUNI PROFESINYA SEBAGAI AHLI
MEMBUAT KERIS. KERIS BUATANNYA YANG TERKENAL ADALAH
DAPUR JANGKUNG LUK TELU BLONG POK GONJO

Oke..artinya saya sudah salah mengira kalau di tempat ini bisa ketemu sama bidadari :D

Tepat sejajar dengan gerbang utama, terdapat empat buah candi kecil yang berdiri diluar sebuah lingkaran berisi bebatuan yang diberi pagar besi. Dari jauh sudah terlihat adanya gas keluar dari bebatuan. Tidak terlihat didalam foto, tapi percaya aja, itu ada!
Sebuah api abadi yang keluar dari perut bumi. Beberapa warga memanfaatkan api itu untuk usaha menjual jagung bakar. Kreatif juga.






Cukup susah memotret api yang keluar dari sela-sela batu itu.
"Kalau malam kelihatan bagus, nak."
Sebuah suara mengagetkanku ketika aku tengah asyik memotret.
"Api itu dulunya digunakan Ki Kriya untuk menempa besi."
Jelas seorang kakek yang dari tadi menyapu pelataran dari dedaunan jati kering yang berguguran.

Orang tua itu sering dipanggil Mbah Wo.
"Sebelum bikin keris Ki Kriya bertapa dulu di sana." Katanya sambil menunjuk sebuah pohon yang dikelilingi pagar kayu bercat biru.
"Ki Kriya sendiri yang cerita sama embah" katanya melanjutkan.

Tertarik, aku mencoba mengorek cerita lebih dalam dari beliau.
"Embah bukan kuncen, tapi paranormalnya" jawabnya sambil tersenyum, memperlihatkan beberapa giginya yang sudah ompong.
Panjang beliau bercerita mengenai dari sejarah tempat itu, keris-keris yang dibuat oleh Ki Kriya, hingga mokhsanya Prabu Brawijaya, Mahapatih Gajah Mada dan Ki Kriya sendiri ke Gunung Lawu.
"Di sekitar tempat semedi ini ada taman. Dia (Ki Kriya) sendiri yang cerita sama embah." menunjuk ke jalan memutar di sekitar pohon tempat semedi.

"Kalau Ki Kriya bersedia, keturunannya atau orang-orang yang dikehendaki kalau memotret lantai tempat semedi ini bisa kelihatan batu batanya. Orang itu jadi beruntung banget! Batu bata ini aseli dari Trowulan."
Dan hasil foto saya sangat jelas. Apakah itu artinya saya salah satu orang keturunan Ki Kriya? Atau orang yang dikehendaki beliau? Atau menjadi orang yang sangat beruntung?

Yaelaaaahh...walaupun pakai kamera hp, tapi kan sudah ada auto focus-nya, jadi tetep aja kelihatan jelas..wahaha..!!

Sambil menemani saya memutari area pertapaan, Mbah Wo terus mengoceh walaupun intonasi suaranya sudah tidak terlalu jelas.
"Dulu disini digali sama orang-orang (arkeolog) dari UI, mereka mau membuktikan cerita Mbah Wo benar atau nggak" tambahnya sambil menunjuk pada sebuah lubang persegi bekas galian.
Lanjut Mbah Wo lagi, di dalam galian para arkeolog itu ditemukan batu bata yang strukturnya sama persis seperti yang ditemukan di Trowulan. Kini lubang-lubang itu sudah kembali ditutup tanah. Beberapa batu bata masih terlihat jelas. Beberapa dikembalikan ke Mojokerto, dan sebagian lagi dibawa ke museum di Yogyakarta.
"Jangan diambil, nanti kualat." Kata Mbah Wo






Dengan langkah kaki yang setengah diseret dan sambil terus mengoceh, beliau mengantarkanku kembali ke pertapaan.
"Kalau pendopo itu bangunan baru. Dibuat untuk istirahat tamu-tamu. Dulu kan apinya diambil buat PON." Sambil menunjuk ke pendopo di sebelah selatan area.
Kembali Mbah Wo bercerita tentang beragam keris hasil ciptaan Ki Kriya, yang bahkan nama-nama keris yang disebutkannya sudah hilang dari memori otak saya tiga menit setelah beliau berhenti bercerita.
Dari keris sakti yang dipakai Prabu Brawijaya yang membuat beliau kasat mata di hadapan lawan, sampai keris yang dipakai Mahapatih Gajah Mada untuk memperluas wilayah jajahan Majapahit.


"Setelah bertapa dan memohon kepada Sang Maha Kuasa, Ki Kriya menempa batu untuk kerisnya di dalam api itu. Cuma pakai tangan. Batunya sebesar biji salak yang didapat dari luar pulau."
Dan saya tetap tekun mendengarkan dongeng siang itu dari sang simbah.
"Setelah ditempa di api itu, keris dicelup ke air di sana." Tunjuk beliau ke sisi barat
"Airnya seperti mendidih, tapi jangan lama-lama karena baunya nggak enak." Kata Mbah Wo mengakhiri ceritanya.

Diluar kebenaran dongeng Mbah Wo, pasti ada penjelasan logis mengenai keberadaan tempat ini. Saya menuju sisi barat, ingin melihat kolam berisi air -yang katanya- tempat mencuci keris hasil semedi Ki Kriya.



Dipisahkan oleh ceruk kecil, pengunjung harus meniti jembatan kayu kecil menuju sisi berikutnya. Beberapa wahana bermain sudah dipersiapkan untuk pengunjung, khususnya anak-anak. Beberapa pedagang menjajakan jajanannya kepada para pengunjung.
Di ujung taman itu terdapat sebuah kolam kecil yang dikelilingi pagar besi hitam. Tanpa tempelan tulisan peringatanpun saya sudah tahu kalau pengunjung tidak boleh seenaknya masuk ke dalam kolam.
Benar juga, air berwarna cokelat di dalam kolam itu berolak, seperti mendidih. Pada awalnya saya kira air di dalam kolam itu panas, namun ternyata setelah menyaksikan atraksi juru kunci kolam dan beberapa pengunjung yang meminta tuah air kolam, ternyata itu air dingin.

Benar saja setelah sekitar lima belas menit duduk di samping kolam, kepala ini terasa pusing. Bau belerang lebih menyengat di sekitar kolam ini dibanding dengan di sekitar api.

Sama seperti di tempat pertapaan, ternyata air kolam ini digunakan sebagai lahan bisnis mistis bagi sebagian orang.


Selesai melihat-lihat, saatnya beristirahat sejenak. Sebuah lapak kecil berisi buah-buahan segar mengundangku untuk mampir. Seporsi rujak buah segar kunikmati di pinggir taman sembari mengamati dan menyimak cerita pedagang dan pengunjung di situ.

"Dulu tempatnya belum seperti ini."
"Dulu belum ada pagarnya."
"Dulu seperti ini, dulu seperti itu."
Kenang beberapa pengunjung tentang tempat ini.



Apapun itu terlepas dari fakta atau hanya mitos dan saya tidak bertemu dengan satupun bidadari, tidak ada hal yang sia-sia selama perjalanan ke tempat ini. Suasana alam yang masih nyaman, walau sangat panas hari itu, dan aku cukup menikmati cerita dongeng yang cukup menghibur dari Mbah Wo tadi.

Kira-kira jam 11 siang waktu itu, dan aku memutuskan untuk meninggalkan Kayangan Api. Kali ini tujuanku menuju Bojonegoro kota. Setelah mengontak beberapa kenalan, aku melaju menuju kota. Kurang lebih berjarak 15 km dari Kayangan Api menuju kota.
Warga asli sudah berbaur dengan para pendatang. Sebagian besar ekspatriat berprofesi dibidang perminyakan, jadi harus berhati-hati jika jajan di warung makan di dalam kota. Bisa jadi Anda yang hanya turis mampir, disangka salah satu 'orang minyak' karena harga makanan akan jadi lebih mahal.

Beruntung Kang Wawan, seorang perantauan dari Bandung, bersedia mengajak berkeliling kota. Bersama Mas Ady dan mereka berdua penggagas HMPC Chapter Bojonegoro dan anggota Nusantaride di Bojonegoro. Cukup menyenangkan bisa berbagi kisah dan cerita sekaligus mendapatkan teman-teman baru tanpa melihat jenis dan pabrikan motor masing-masing.

Jam 2.30 sore saya meninggalkan kota menuju kembali ke rumah kos. 40 km lagi dengan siksaan kondisi jalan yang tidak rata.



Salam :)

Komentar