Perjalanan Ride and Capture



Hari itu Rabu, 23 Januari 2013. Waktu sudah menunjukkan jam 10 malam ketika saya tiba di depan sebuah pusat perbelanjaan di daerah Cikarang. Badanku sudah lelah dan menggigil karena kedinginan akibat terus-terusan kehujanan mulai dari Cirebon.
Tak menunggu lama, kuambil ponsel dan mengirimkan pesan singkat kepada mas Tomo memberitahukan posisi terakhir kepadanya.
Malam sebelumnya kami sudah saling kontak, dia memperbolehkan saya untuk bermalam sementara di kediamannya di daerah Cikarang, Bekasi.
Satu setengah jam saya menunggu sampai akhirnya beliau datang.


"Aku dapet shif siang" ujarnya sambil menjabat tanganku.

"Jam 11 lebih baru keluar pabrik" imbuhnya.

Rumah mas Tomo tidak terlalu jauh dari tempat kami bertemu. Setiba di sana, dia segera membereskan ruang depan.

"Gini deh rumah bujangan. Berantakan. Haha.." Tawanya renyah sambil memasukkan motor.

Pada awalnya saya berniat untuk memarkirkan si item di pekarangan rumah saja, namun setelah diingatkan akan rendahnya tingkat keamanan di wilayah itu, akhrinya saya ikut memasukkan motor ke ruang tengah, walau susah dan meninggalkan sedikit kenangan di daun pintu rumah mas Tomo karena setang si item yang cukup lebar.

Dia menyiapkan kamar depan untuk saya tempati. Tidak luas, namun cukup untuk menampung barang-barang yang saya bawa. Setelah mencuci muka, sejenak kami melanjutkan obrolan santai. Pemilik blog bishop-getlost.blogspot.com bernama lengkap Suyut Utomo yang asli Sleman ini sudah cukup lama tinggal di Bogor, dan kini di Cikarang. Saya cukup nyaman berbincang dengan beliau yang tidak mengubah logat Slemannya, rasanya seperti ngobrol dengan sanak saudara saya di Jogja sana. Tak berlangsung lama saya berpamitan untuk beristirahat.
---
Alarm ponsel jam empat pagi itu mengagetkanku dari tidur. Dengan malas aku merayap untuk mematikan alarm dengan nada mengganggu itu. Kembali kutarik kantong tidur kumal untuk menghangatkan seluruh badan dari hawa dingin pagi. Ingin sekali aku melanjutkan tidur, namun luapan kegembiraan yang selalu muncul ketika akan melakukan perjalanan seolah menjadi antiklimaks dari rasa lelahku.
Seperti layaknya kegirangan seorang anak kecil yang tahu bahwa esok hari dia akan diajak rekreasi. Atau perasaan dag-dig-dug saat menantikan hari pertama masuk sekolah dulu.
Saya benar-benar tidak dapat memejamkan mata lagi walau sambil meringkuk di balik kantung tidur.

Hampir jam setengah enam pagi, ketika sinar mentari mulai menyeruak masuk dari sela gorden jendela kamar dan suara aktivitas tetangga sekitar yang menggantikan heningnya malam.
Beranjak keluar kamar, saya mengeluarkan motor dari ruang tengah dan mulai mempersiapkan diri.
Pukul 8.30 pagi itu. Tiga buah box yang tertutup lumpur kering sudah terpasang di samping dan belakang si item, tak lupa matras, kantung tidur dan jas hujan di jok belakang. Tak kalah cepat dengan saya, mas Tomo yang sudah bangun juga sudah menyiapkan tunggangannya. Sepasang tas motor di samping, matras dan juga kantung tidur tersemat di bagian belakang.


suasana rumah mas Tomo


suasana rumah mas Tomo


suasana rumah mas Tomo


Setelah menjemput mbak Neni -sang kekasih, navigator sekaligus juru foto-, sarapan dan melakukan pemeriksaan akhir pada kendaraan, hampir jam 11 siang kami berangkat meninggalkan kediaman mas Tomo di cikarang menuju lokasi Ride and Capture Nusantaride dalam guyuran hujan.

Perjalanan dramatis

Cikarang.. Bekasi.. Ke selatan.. Entah daerah mana saja yang saya lewati sampai menuju lokasi. Saya hanya bisa pasrah mengikuti berkas lampu belakang motor pulsar hitam ‘bishop’ yang melesat jauh di depan.

Jalur yang sama sekali asing, aspal jalan yang licin akibat siraman air hujan dan beban di kedua box samping yang tidak merata membuat saya agak kewalahan mengendarai si item. Beberapa kali saya sempat tertinggal jauh dengan mas Tomo.
Sampai kami melintas di suatu jembatan di sekitaran Cariu, ketika tepat di depan kami terjadi kecelakaan. Seorang lelaki paruh baya yang mengendarai motor matic menabrak bagian belakang truk. Kami berdua menghentikan laju kendaraan untuk menolong korban yang  tergeletak tak sadarkan diri tertindih motornya di tengah jembatan. Darah terus mengalir dari kepalanya yang pecah karena korban mengenakan helm secara asal-asalan. Dibantu supir dan kernet truk, kami mengangkat korban ke dalam truk untuk kemudian dibawa ke puskesmas terdekat.

Setelah menutupi ceceran darah di aspal dengan sobekan daun pisang seadanya, kami yang sedari tadi jadi tontonan pengguna jalan lain, kembali melakukan perjalanan.
Beberapa kali kami berhenti untuk memeriksa posisi melalui GPS - geopositioning satellite. Piranti elektronik ini cukup membantu kami dalam merencanakan jalur yang dipilih. Jalan yang kami tempuh tak hanya mendaki, namun juga banyak turunan terjal dengan tikungan-tikungan tajam.
Tiba di daerah Cipanas, kami kira akan menemukan banyak spanduk pengarah yang memudahkan peserta menuju lokasi acara, sama seperti pada kegiatan Rally di Dieng beberapa waktu lalu, namun ternyata nihil.
GPS sudah mati karena kehabisan daya. Kami melanjutkan sisa perjalanan dengan mengandalkan perkiraan serta arahan dari petugas taman nasional. Kira-kira jam setengah tiga sore kami tiba di lokasi Basecamp Indonesian Green Ranger di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan kondisi basah kuyup, lelah namun tetap antusias.

Ready, Get Ride and Capture!

Sudah ada beberapa orang anggota Nusantaride yang duduk ngobrol santai di teras pondok.

Pondok itu berlantai dua, dengan dindingnya terbuat dari tembok dan sebagian lagi papan. Di atas atap teras pondokan terpampang papan nama yang cukup besar, bertuliskan identitas mereka "Indonesian Green Ranger." Berada tepat di lereng Gunung Gede, selain menjual dan menyewakan peralatan pendakian, pondok itu juga berfungsi sebagai pos awal bagi para pendaki.
Bersalaman dan memperkenalkan diri, saya mulai membaur dengan para peserta Ride and Capture. Pak Ija, Bang Adi Aghoy, Bang Riva, Om Andre, Bang Adry, Mas Arif Respiro, Om Tedy, dan tidak ketinggalan Bang Ahmad Yunus yang jadi pemateri pertama tentang teknik penulisan. Tentunya ditambah beberapa orang lagi yang namanya terlewat dari memori saya :)
Waktu berlalu bersama obrolan-obrolan santai kami di teras basecamp. Hampir satu jam berselang, tiba Rere dan Danu ke lokasi.

"Tadi habis off-road di Hambalang, Mas" sapanya sembari memamerkan lumpur di celana serta tas bawaannya.
"Bingung cari Basecamp Green Ranger, nggak ada petunjuk arah. Tanya orang juga nggak ada yang ngerti." imbuhnya, “Malah dikira cari markas Power Ranger.”

Perbincangan kami semua masih berlanjut hingga sekitar jam 6 petang, ketika Pak Ija dan Bang Ahmad Yunus memutuskan untuk memulai acara.
Kami semua berkumpul di sebuah ruangan memanjang yang cukup luas berlantai keramik merah dingin. Belakangan baru saya tahu kalau ruangan itu adalah musholla basecamp. Cahayanya temaram, berasal dari sebuah lampu bohlam redup dengan sinar kehijauan. Ditambah cat dinding papan yang juga berwarna hijau, agak sulit bagi saya untuk melihat dengan jelas. Sebuah komputer jinjing dengan Bang Ahmad Yunus di belakangnya sebagai pemateri duduk bersila di ujung ruangan, sedangkan proyektor diletakkan jauh di ujung ruangan lain. Gamang rasanya ketika harus melihat pembicara dan tampilan materi yang terpisah antara ujung satu ke ujung ruangan lain.

Tak kurang dua puluh orang yang mengikuti materi tentang penulisan itu. Tidak ada rasa tegang atau kikuk. Penulis buku Meraba Indonesia yang merupakan hasil ekspedisi ‘Zamrud Khatulistiwa’ bersama Farid Gaban itu menyajikan semua materinya dengan santai, bahkan tak jarang diselingi gurauan.
Beberapa kali saya pernah mengikuti workshop baik itu pelatihan mengenai jurnalisme hingga teknik, namun tidak ada yang disajikan sesantai ini.
Lebih seperti sharing, tukar pikiran dan pengalaman antar peserta, dimana tiap peserta dapat menyampaikan pengalaman atau pertanyaan tentang penulisan hasil perjalanannya.
Bang Ahmad Yunus memberikan materi tentang teknik penulisan ini semata-mata untuk memberikan nilai tambah, bahkan nilai jual pada hasil tulisan kita.

"Cerita dalam tulisan kita merupakan sebuah aset, kekayaan yang sungguh berharga mengenai Indonesia." papar beliau.
"Sangat disayangkan jika kekayaan Indonesia dalam bentuk tulisan itu tidak diolah dengan baik, artinya Anda hanya asal-asalan menulis. Atau hasil tulisan Anda sudah baik, namun hanya menjadi pajangan di blog saja." katanya penuh semangat.

Ada banyak materi yang bisa dipaparkan secara langsung kepada peserta dan tentu saja praktik penulisan, jika saja kami masih memiliki waktu yang cukup panjang malam itu.
Sebelum berpamitan untuk kembali pulang ke Bandung, beliau memperbolehkan kami untuk menyalin seluruh file materi.

"Copy dan sebarkan!" Katanya sambil menaiki mobil dan pergi.



salah satu suasana materi penulisan oleh Kang Ahmad Yunus

salah satu suasana materi penulisan oleh Kang Ahmad Yunus

Malam keakraban bersama Udin dan Usman

Hawa dingin pegunungan malam itu tidak menyurutkan niat kami semua untuk berkumpul di teras depan. Sambil menikmati nasi goreng khas basecamp dengan piring unik yang terbuat dari jalinan anyaman bambu, kami mulai berbincang. Dari perbincangan ringan seputar perjalanan masing-masing menuju lokasi Ride and Capture hingga pengalaman-pengalaman seru ketika melakukan perjalanan berkendara. Berbagai kebiasaan unik di beberapa daerah di Nusantarapun tak luput menjadi topik pembicaraan malam itu. Bang Adi Aghoy, Om Tedy dan Om Andre yang asli Sumatera memberikan beberapa informasi dan cerita terlebih kepada tiga anggota Saptaranu lain, team Nusantaride yang akan melakukan ekspedisi tujuh danau besar di Pulau Sumatera.

Di atas meja kayu berbentuk persegi yang tidak terlalu besar itu sudah terhidang beberapa gelas bandrek dan kopi panas, menggantikan piring-piring bekas nasi goreng kami. Berbagai cerita dan pengalaman tentang Sumatera sudah dibagikan, namun malam masih sangat panjang untuk diakhiri begitu saja. Bang Adi Aghoy memulai beberapa cerita humornya tentang Udin dan Usman, dua orang sahabat karib dari Sumatera yang merantau ke Jakarta. Beberapa cerita pendek dia berikan tentu saja dengan logat dan gaya melayu yang khas, mulai dari Udin dan Usman sebagai orang Aceh, hingga orang Lampung. Gelak tawa kami memecah keheningan malam di lereng gunung itu. Sampai beberapa jam ketika mata ini mulai terasa berat, saya memutuskan berpamitan kepada rekan-rekan di teras untuk mendahului beristirahat di lantai dua. Mengikuti saya, mas Tomo dan mbak Neni, sementara team Saptaranu mendapat pengarahan internal di dalam ruangan materi.
Lantai kedua bangunan ini cukup luas sampai bisa menampung sekitar tiga puluh orang di dalamnya. Sebagian berlantai papan dan bagian lainnya dari pelat beton dengan atapnya menggunakan seng gelombang. Sumber cahaya hanyalah dari dua buah lampu neon yang sudah redup. Dinding ruangan ini sepenuhnya dari papan dengan beberapa jendela selebar satu meter yang sudah tertutup rapat dan sebuah jendela lebar dengan panjang yang hampir menyamai lebar ruangan dan tak berdaun jendela. Tentu saja itu membuat angin gunung dengan leluasa masuk ke dalam ruangan.

Kami bertiga memilih untuk tidur di atas lantai papan, dengan pertimbangan kayu lebih hangat ketimbang beton. Mengenakan jaket, berselimutkan kantung tidur dan tidur di atas matras yang sudah disediakan oleh seorang anggota basecamp, perlahan saya mulai memejamkan mata dan menghiraukan hawa dingin pegunungan.
Entah pukul berapa saya terjaga dari tidur dengan tenggorokan tercekat. Saya hampir tidak dapat bernafas dengan baik. Rupanya dehidrasi, kekurangan cairan dalam tubuh. Beranjak dari tempat berbaring, kulihat dua orang yang masih tidur nyenyak di sampingku, mas Tomo dan mbak Neni. Di bawah jendela lebar, aku melihat tiga sosok yang tengah meringkuk di balik kantung tidur mereka.
Setelah minum beberapa teguk dan mengisi penuh air pada sebuah botol air mineral dari ruang bawah, aku kembali ke lantai atas untuk kembali melanjutkan tidur. Sampai kira-kira jam lima pagi ketika saya kembali terjaga bukan karena haus seperti sebelumnya namun kali ini karena keharusan untuk ke kamar kecil. Ketika saya tengok, tiga sosok di bawah jendela itu masih tetap meringkuk di balik kantung tidur, sedangkan dua orang di samping saya sudah menghilang.

Jumat Padat

Hari Jumat itu tidak semua kantor dan perusahaan memberikan libur terusan kepada para pekerjanya, termasuk di antaranya perusahaan tempat mas Tomo bekerja. Memang pada malam sebelumnya dia mengatakan bahwa Hari Jumat pagi harus segera kembali ke Cikarang untuk bekerja, namun tidak saya sangka mereka berdua akan meninggalkan basecamp pagi-pagi buta.
Selesainya dari kamar kecil, saya berjalan-jalan keluar basecamp. Suasana basecamp pagi itu sudah cukup ramai, mulai dari pengelola dan anggota basecamp yang sibuk dengan aktivitas mereka di dapur, suara dengkuran yang bersahutan dari ruangan materi, hingga para pedagang di sekitar basecamp yang mulai membuka lapak mereka. Beberapa peserta juga sudah bangun, salah satunya bang Adi Aghoy yang semalam terjaga ketika saya turun untuk minum.

Kira-kira pukul enam pagi, kabut tipis masih menggantung di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Saya kembali ke lantai atas basecamp untuk merapikan dan mengemasi barang-barang. Tiga orang yang meringkuk di balik kantung tidur semalam juga sudah mulai bangun. Ternyata om Andre, Rere dan Pak Ija. Berempat kami turun untuk menikmati segarnya udara pagi. Saya tidak menemukan data pasti berada di ketinggian berapa basecamp Indonesian Green Ranger di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cibodas. Hujan yang turun sejak semalam hingga pagi itu yang membuat saya enggan untuk mandi, walaupun air di tempat itu tidak sedingin di Desa Sembungan, Dieng, yang dapat membuat seakan mati rasa setelah terkena air. Masih mengenakan jaket, kami semua kembali berkumpul di teras depan. Setelah pesanan nasi goreng sebagai menu sarapan tiba, kembali muncul humor lanjutan Udin dan Usman menemani makan pagi serta menyegarkan suasana pagi itu. Di pagi itu ada dua orang yang baru beberapa jam tiba di sana. Om Icay dan Kang Luckay yang masing-masing mengendarai mobil, serta kang Dendy Julius, seorang fotografer profesional sebagai pemateri pelatihan fotografi kami selanjutnya, yang jauh-jauh datang dari Kota Bandung mengendarai motornya.

Setelah menghabiskan sarapan, kami dipandu untuk kembali masuk ke dalam ruangan untuk menerima materi pelatihan fotografi. Yang membuat saya sangat antusias dalam mengikuti workshop fotografi ini adalah karena saya sangat ingin belajar mengenai pemotretan.

"Sangat disayangkan kalau hasil foto perjalanan teman-teman cuma jadi wallpaper di komputer aja." kata kang Dendy memberikan motivasi kepada kami.

Saya merupakan penyuka hasil seni fotografi, maka saya sangat menikmati materi yang disajikan kang Dendy melalui slide di proyektor, namun tidak dengan presentasi beliau. Sebagai seorang yang awam, saya tidak mengerti berbagai istilah yang disampaikan walaupun kang Dendy sudah mencoba memberikan presentasi menggunakan istilah yang mudah dimengerti, bahkan untuk saya tulis kembali dalam cerita ini. Beberapa peserta manggut-manggut sambil mengutak-atik unit kamera DSLR mereka seraya mengikuti presentasi kang Dendy. Sementara sebagian peserta lain, termasuk saya, mencoba mencari persamaan teknik DSLR pada kamera saku, walaupun hal tersebut sangat mustahil haha :-P

Selesainya menyampaikan materi teori pemotretan, kami diajak menyiapkan kamera untuk melakukan parktik. Menurut keterangan, ada banyak titik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang dapat dijadikan obyek jepretan kamera. Namun sayang, antusiasme kami terhalang oleh hujan yang kembali turun, bahkan pasca sholat jumat.
Kami memilih untuk mengemasi kembali seluruh barang pribadi dan menatanya pada motor di bawah rintik hujan. Sebagai tanda berakhirnya kegiatan Ride and Capture Jumat siang itu dilakukan sesi foto bersama. Puncaknya, kami semua berkumpul di depan emperan sebuah kios yang tutup. Dengan peralatan fotonya, Kang Dendy mengabadikan momen terakhir Ride and Capture itu. Jabat erat dan pelukan hangat para sahabat takkan pernah saya lupakan sebagai simbol pertalian baru dalam forum ini.


suasana Cibodas dilihat dari lantai 2 basecamp

suasana basecamp

suasana materi fotografi oleh Kang Dendy Julius

Team Saptaranu

foto bersama sebelum pulang


Kosong Dua Dua

Saya sudah berkemas. Semua barang bawaan sudah berada rapi di atas si item. Rencana awal, selepas kegiatan Ride and Capture di Cibodas, saya dan Rere hendak 'turun' ke Jakarta bersilaturahmi dengan beberapa teman lama dan melakukan pendekatan untuk usaha yang sedang kami rintis bersama. Kembali rencana itu mesti pupus setelah mendapat keterangan dari pak Ija. "Bonjer (Jalan Kebon Jeruk) dan Otista (Jalan Otto Iskandar Dinata) masih banjir."
Memang niatan kami untuk melakukan pendekatan di dua tempat yang terkenal sebagai pusat grosir penjualan aksesoris kendaraan bermotordan perlengkapan pengendara bermotor di Jakarta. Tapi setelah mendengar kabar itu dan untuk menghindari resiko, kami mengubah arah menuju Bandung.

"Kira-kira empat jam dari sini, tapi kita jalan pelan-pelan aja, mas. Aku agak lupa jalurnya" kata Rere.

Alih-alih menunjukan rute perjalanan menuju Bandung yang ditanyakan Rere, kang Dendy justru mengajak kami ikut serta dengannya.

"Bareng aja, kan sama-sama ke Bandung." Katanya lagi, "Tapi kita makan dulu di Puncak."

Sekitar setengah empat sore kami bertiga meninggalkan rumah makan di Puncak yang sore itu diselimuti kabut tebal yang tak hanya menghalangi pandangan, namun juga sampai menutupi permukaan jalan. Beberapa kali si item terperosok masuk ke dalam lubang jalan yang menganga. Kembali saya tidak cermat dalam membagi beban, sehingga berat masing-masing box samping tidak seimbang. Ditambah kendurnya rantai akibat terperosok lubang di Pantura Indramayu pada saat perjalanan berangkat, membuat saya semakin sulit mengendarai si item dalam kondisi jalan Puncak kala itu. Beberapa kali saya sempat tertinggal jauh dari mereka berdua, dan puncaknya ketika kami tiba di persimpangan Padalarang, sore itu sekitar pukul lima.

Saya hanya bisa memandang box hitam belakang dari motor Yamaha Scorpio kang Dendy dan helm putih Rere yang terus melaju di antara sesaknya lalu lintas Padalarang sore itu dari belakang traffic light yang dijaga beberapa Polantas. Cukup lama juga mereka berdua menunggu saya di depan sebuah mini market, terlihat dari botol-botol minuman mereka yang sudah kosong.

"Di sini sama aja kayak Bawen, mas Son." Kata Rere sambil menyodorkan botol minuman dingin kepadaku.

"Isinya pabrik semua, kita datang pas jam pulang kerja. Tapi bentar lagi nyampai Bandung kok." Imbuh kang Dendy sambil tertawa.

Melanjutkan kembali perjalanan menuju rumah kos Sam, adik Rere, kang Dendy yang asli Bandung menuntun kami melewati jalan-jalan pintas untuk menghindari kemacetan. Entah rute mana yang kami tempuh. Kami mengarah ke utara menuju Tangkuban Perahu, ke timur melewati perkampungan, beberapa kompleks perumahan yang cukup mewah, melintasi terowongan dengan, entah rel kereta api atau jalan tol, di atas kami dan kami sudah tiba di Pasar Sarijadi, Bandung. Sampai di situ kami berdua berpisah dengan kang Dendy yang melanjutkan perjalanan menuju tempat tinggalnya di daerah Pangalengan.

"Rumah kosnya di deket sini, tapi aku lupa, Mas." Kata Rere sambil mencoba menghubungi adiknya lewat telepon.

Setelah beberapa saat kami bertemu Sam, dan ia mengajak kami ke rumah kosnya.
Rumah kos itu cukup megah mengimbangi kemegahan bangunan-bangunan di sekelilingnya. Bangunan ini selebar sekitar sepuluh meter, memanjang ke belakang hampir dua kali lebarnya serta berlantai dua yang sebagian besar digunakan sebagai kamar kos. Di lantai bawah digunakan  sang pemilik sebagai warung kelontong dengan halaman rumah yang cukup untuk memarkirkan sebuah mobil, dan terdapat tangga menuju lantai dua di sisi temboknya rumah. Setelah berbasa-basi, pemilik kos yang ternyata masih kerabat jauh mereka berdua memperbolehkan saya untuk ikut menginap.

Sam adalah adik pertama Rere, dia seorang mahasiswa fakultas teknik tahun pertama di salah satu universitas swasta ternama di Jalan Surya Sumantri, Bandung. Tiga tahun semasa SMA dia habiskan di Semarang, bersama sang kakak yang menempuh perkuliah di kota yang sama. Kamar kosnya berada di lantai dua dengan bangunan model modern minimalis berdinding batu bata ekspose. Berukuran sekitar empat kali empat meter persegi, ternyata kamar itu tidak cukup luas untuk kami bertiga.

Setelah makan bersama dan menikmati Seblak, jajanan (yang menurut saya) aneh khas Kota Bandung, ada pesan balasan yang masuk ke Blackberry saya dari beberapa anggota Prides Chapter Bandung, yang isinya respon positif tentang informasi keberadaan saya di kota itu sebelumnya. Mereka bersedia menjadwalkan kopcol (kopi darat colongan) malam itu juga di sebuah cafe yang secara kebetulan tidak jauh dari rumah kos Sam.


seblak pedes

Adalah mas Vincent Nugroho, mantan ketua Prides Chapter Bandung periode sebelumnya yang juga pemilik konveksi Contin Moto dan Denny Duro salah satu anggota Prides Chapter Bandung yang menemani saya. Kebetulan juga ada seorang anggota Prides Chapter Solo, Illyas yang sedang berkunjung ke Bandung ikut bersama kami. Beberapa jam kami habiskan dengan obrolan santai, beberapa gelas minuman dan makanan ringan. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam, ketika kami memutuskan berpisah.

Setiba di rumah kos Sam, Rere sudah tidur, sedangkan si empunya kamar masih berkutat dengan tugas kuliahnya. Setelah mencari tempat untuk tidur yang nyaman di salah satu sudut kamar, saya berpamitan pada Sam dan mulai tidur.
Keesokan harinya saya mulai menyiapkan kendaraan. Setengah sembilan pagi saya sudah menyambangi bengkel motor di bilangan Sarijadi untuk mengencangkan rantai. Ketiga box sudah terpasang, begitu halnya dengan matras dan kantung tidur.

"Nggak dicuci dulu, Mas Son?" Tanya Rere sambil mengusap kaca lampu si item yang tertutup lumpur tipis.

"Nggak usah deh, nanti kalau kehujanan kan bersih." Jawabku yakin nanti akan turun hujan.

Menyiapkan tujuan di GPS, dan juga berbekal hasil korespondensi rute kepada beberapa warga, pada pukul sepuluh pagi saya mulai meninggalkan rumah kos Sam, melaju menuju Semarang. Beberapa kali saya harus berhenti untuk memeriksa peta, baik di perangkat GPS maupun peta virtual melalui ponsel. Memang tidak semulus perkiraan awal, apalagi saya sempat memutar jauh ke Bandung Selatan karena salah mengambil rute menuju Cicaheum, dan berputar-putar di Sukabumi karena mengikuti rambu penunjuk arah untuk bus, namun bagi saya, disitulah letak tantangan akan sebuah petualangan, terlebih melaju melalui rute yang sama sekali asing bagi saya.

Sepuluh jam lama perjalanan yang saya tempuh dari Sarijadi menuju kediaman di Semarang. Lelah namun puas, walaupun perkiraan saya meleset karena selama perjalanan ternyata cuaca sangat cerah, tidak ada satu tetesan hujan yang mengenai saya, yang berharap dapat ‘mencuci motor’ cuma-cuma dalam guyuran hujan. Kawan dan sahabat serta ilmu dan pengalaman baru telah saya peroleh, dan saya tidak akan segan untuk membagikan pengetahuan itu kepada orang lain.

Komentar