Doa di Bukit


LOKASI
Gua Bunda Maria Ratu, Besokor

Alamat:  Jl. Weleri - Sukorejo, Kab. Kendal, Jawa Tengah

Koordinat:   7° 0’ 9.9” S  110° 3’ 55.8” E


DISCLAIMER
Cerita ini berisi perjalanan menuju tempat-tempat ziarah yang disucikan bagi umat Katolik. Cerita ini tidak bertujuan untuk memaksakan iman kepada umat penganut kepercayaan lain



LET'S ROLL!
Minggu siang itu cukup cerah setelah semalam Kota Semarang diguyur hujan yang cukup lebat. Pukul setengah dua siang saya meninggalkan rumah menuju Weleri, Kendal. Tujuan saya jelas: Gua Maria Besokor Weleri, Kendal.

Perjalanan dari ujung barat kota Semarang menuju Weleri, Kabupaten Kendal sungguh tidak menyenangkan, padahal yang saya lewati adalah jalur utama, pantura. Di sana-sini banyak ruas jalan dengan kondisi permukaan aspal tidak rata. Memang saya menjumpai beberapa alat cold milling machine. Sebuah mesin besar yang berfungsi mengelupas lapisan aspal lama dari ruas jalan, yang terparkir rapi di ruas jalan. Beberapa kali saya hampir tergelincir ketika melaju melewati ruas jalan dengan lapisan aspal yang telah “tergaruk” namun belum dilapis ulang. Sungguh sebuah kondisi pekerjaan yang membahayakan pengguna jalan, terutama pengendara kendaraan bermotor. Perjalanan tak lebih dari lima puluh lima kilometer itu terasa cukup panjang dan melelahkan karena selain ada penyempitan ruas akibat pekerjaan perbaikan jalan di beberapa ruas pantura, juga suhu dari cuaca panas yang tak kunjung menurun. Setelah melewati perlintasan rel kereta api Weleri, di sebuah pertigaan, ikuti papan penunjuk arah menuju Sukorejo.


Perjalanan dari pertigaan cukup menyenangkan karena jalur yang mulai berbukit dengan pepohonan rindang yang membuat saya tidak memperhatikan berapa kilometer yang sudah saya tempuh, sampai ketika saya disambut dengan tulisan besar “Goa Bunda Maria Ratu” di sisi luar tebing. Rupanya saya sudah tiba di lokasi.
Dari gerbang utama, seorang laki-laki kira-kira berusia tiga puluhan tahun keluar dari pos jaga dan menunjukkan tempat dimana saya bisa memarkirkan kendaraan. Tempat parkir itu tidak terlalu luas. Jika dipaksakan, hanya kira-kira mampu menampung tidak lebih dari sepuluh mobil dan beberapa kendaraan roda dua saja.








Kesan pertama yang saya tangkap dari Gua Bunda Maria Ratu ialah keasriannya. Tempat ziarah ini cukup rindang dan sejuk karena menyatu dengan alam, walaupun gua tempat “Sang Bunda berada” merupakan gua buatan yang didirikan di atas tebing. Di sebelah kiri gerbang utama terdapat sebuah bangunan kecil bertuliskan “Sekretariat” dengan berbagai kertas dan selebaran yang belum dirapikan. Sedikit melongok ke dalam ruangan itu, ada beberapa benda rohani yang memang dijual untuk pengunjung yang berminat. Satu atap dengan ruang sekretariat terdapat toilet umum.



Siang itu ada beberapa pekerja yang sedang membereskan tenda yang telah digunakan untuk acara doa pagi tadi. Dalam tradisi Katolik Roma, Bulan Mei merupakan bulan yang secara khusus ditujukan untuk devosi kepada Bunda Maria. Maka tak heran jika tiap tempat ziarah mengadakan kegiatan Novena dan Rosario bersama.
Menyusuri jalanan paving block yang sudah mulai berlumut, saya terus mengikuti penunjuk arah menuju rute jalan salib. Beberapa pondokan kecil terbuka bergaya joglo saya jumpai di sana. Pondokan yang bisa menampung kira-kira dua puluh orang, beralaskan karpet itu bisa menjadi tempat berkumpul untuk kelompok-kelompok yang sedang berziarah di sana, sekedar beristirahat atau melakukan kegiatan berkelompok lain. Jalan berlumut yang menurun membuat saya harus ekstra hati-hati supaya tidak tergelincir. Pos-pos perhentian jalan salib ini sudah terlihat ‘tua’ untuk ukuran tempat ziarah yang baru diberkati dan diresmikan pada tahun 2003 oleh Uskup Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Ign. Suharyo, Pr. Beberapa pos juga sudah kehilangan beberapa tulisan. Yang menarik dari rute jalan salib ini ialah selain kita bisa berdoa dan merenungkan kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus, kita juga bisa menikmati deru arus sungai yang berada tepat di samping kompleks gua ini. Sungai selebar kira-kira enam meter itu mempunyai arus yang deras. Batu-batu hitam besar tergeletak tak hanya di sisi sungai, namun juga di tengah-tengahnya. Tampak beberapa warga duduk di atas bebatuan itu sambil menunggu mata kail mereka disambar oleh ikan. Sungguh pemandangan yang cukup menyejukkan hati. Rute jalan salib ini tidak terlalu panjang, karena hanya memutar separuh bagian kompleks gua saja.










Setelah selesai berdoa dan melakukan ibadat jalan salib hingga perhentian terakhir tepat di belakang gua, umat diarahkan menuju lorong di bawah gua, tujuannya agar tidak berdesakan ketika berpapasan dengan umat lain yang sedang melakukan ibadat jalan salib.
Walaupun hanya sejauh lima meter, namun claustrophobia membuat saya berjalan cepat agar tiba di luar lorong dengan segera. Sesampainya di luar terowongan, ada beberapa keran air. Ketika saya putar salah satu keran, seketika mengalirlah air jernih yang cukup deras dan segar ketika saya gunakan untuk mencuci muka. Tak heran karena tempat itu bersebelahan dengan sungai berarus deras dan ada beberapa reservoir, tempat penampungan air, yang dibuat dengan bentuk menyerupai tong kayu dibangun di sana.




Karena Gua Bunda Maria Ratu berada di area perbukitan, maka pelataran doa di tempat itu juga terbagi dalam beberapa tingkatan. Dua undakan teratas tidak terlalu luas, masing-masing undakan hanya seluas sekitar sepuluh meter persegi, dengan tempat lilin dan beberapa bangku untuk tempat duduk umat. Sore itu saya tidak bisa berdoa terlalu lama, karena suara laju kendaraan yang terdengar cukup keras di komplek gua, karena memang tempat ziarah ini berada tepat di pinggir jalan dengan rute yang menanjak. Selesai berdoa saya melanjutkan eksplorasi singkat ke beberapa sudut tempat ziarah ini. Ada kapel kecil terbuka di tengah kompleks dengan pelataran doa yang lebih luas dibanding di depan gua. Mungkin bisa menampung seratusan umat. Suasana masih cukup ramai oleh para pekerja yang sedang sibuk merapikan tenda dan melepaskan tiang-tiang penyangga tenda satu persatu, juga para wanita yang menyapu pelataran doa yang mulai kotor oleh daun-daun kering. Hari sudah semakin sore, dan suasana sudah semakin sepi. Saya memutuskan untuk meninggalkan Gua Bunda Maria Ratu di Dusun Besokor.






Sedikit tips untuk Anda yang ingin berziarah ke tempat ini. 
Gunakan pakaian yang nyaman. Walaupun tempat ini rindang dan sejuk, namun tetap selalu kenakan pakaian yang menurut Anda nyaman dan sopan. 
Pilih alas kaki yang nyaman. Jangan sampai Anda terpeleset ketika sedang berjalan salib karena permukaan alas kaki Anda yang licin. Sedapat mungkin bawalah tas pinggang atau tas punggung untuk meletakkan buku doa, karena beberapa rute tidak memiliki railing atau pegangan.
Sediakan air mineral secukupnya karena saya tidak menemukan temapt jajan. Jika Anda memiliki kulit sensitif, jangan lupa membawa lotion anti nyamuk. Ingat bahwa suasana yang rindang juga menjadi sarang nyamuk dan serangga.
Sediakan uang kecil untuk mengisi kas kebersihan toilet dan membayar parkir, juga sediakan uang yang lebih besar untuk mengisi kotak dana pembangunan Gua Bunda Maria Ratu hihihi..




Jalur Gua Bunda Maria Ratu, Besokor, Weleri, Kendal, Jawa Tengah ini dapat ditempuh dari jalur Pantura. Jika Anda dari arah timur (Semarang) ikuti jalur pantura sampai ke Weleri. Setelah melintasi perlintasan KA, ambil jalur ke kiri ke arah Sukorejo. Sebaliknya, jika Anda dari arah barat (Pekalongan), tiba di Weleri belok ke kanan ke arah Sukorejo, sebelum perlintasan KA. Gua Bunda Maria Ratu dapat juga diakses dari arah selatan (Parakan, Temanggung), mengarah ke Sukorejo dan Kendal.

Meninggalkan Dusun Besokor kira-kira jam setengah empat sore, saya memutuskan untuk memilih jalur yang berbeda dengan rute ketika saya berangkat. Jika pada waktu berangkat saya hanya memakan waktu kurang lebih satu jam dari rumah, saya memilih jalur Sukorejo – Boja untuk pulang ke Semarang. Jalur yang cukup dilewati dua buah bus besar ini cukup menantang dengan trek mendaki dan sebagian permukaan aspal yang rusak. Tak jarang saya harus bersabar di belakang mobil travel dan bus ketika menanjak. Tiba di alun-alun Sukorejo, melaju mengarah ke Parakan, Temanggung. Tak lebih dari sekitar sepuluh kilometer saya berbelok ke Curug Sewu, sesuai arahan petugas SPBU sebelumnya di daerah Sukorejo. Jalan Curug Sewu – Boja tak lebih baik dari jalur utama Sukorejo – Parakan, malah lebih parah. Lebar jalur ini mulai menyempit menjadi sekitar lima meter saja, namun lebih lengang. Di beberapa titik juga terdapat pekerjaan perbaikan jalan, baik pelebaran maupun kegiatan pengecoran. Saya menyempatkan diri berhenti di beberapa lokasi untuk mengabadikan gambar. Tak jarang beberapa warga sekitar dan anak-anak tanggung yang lewat memperhatikan tingkah saya yang berhenti untuk memotret motor.
Hamparan sawah, pegunungan karst dengan tebing-tebingnya yang curam, sungai-sungai lebar, perkebunan karet dan beberapa pertandingan sepakbola antar kampung menjadi pemandangan yang cukup indah sore itu. Tepat jam setengah enam sore saya tiba di sebuah warung kaki lima di Pasar Boja, sejenak mengistirahatkan badan yang pegal karena jalanan yang rusak. Masih sekitar lima puluh kilometer lagi menuju titik nol di Semarang, sesuai patok kilometer yang saya lihat di dekat warung itu. Menghabiskan semangkuk soto dan segelas teh hangat, saya melanjutkan perjalanan. Gonoharjo – Mijen – Gunungpati – Ungaran – Semarang adalah jalur yang kemudian saya lalui. Sedikit memutar memang, tapi sudah lama saya tidak melintasi jalur itu.






Tak sampai jam tujuh malam saya sudah tiba kembali di rumah dengan selamat. Sebuah pengalaman perjalanan yang cukup menyenangkan bagi saya untuk mengisi waktu di Hari Minggu sore ketika sudah beberapa lama tidak melakukan perjalanan berkendara untuk mengeksplorasi tempat-tempat eksotis.

Semoga sedikit informasi yang ditulis ini dapat bermanfaat 

Rute yang dapat dilalui untuk menuju Gua Maria Besokor:
Semarang - Kendal - Weleri - ambil arah ke Sukorejo - lokasi
Temanggung - Sukorejo - lokasi

Salam, Doa, dan Berkah Dalem :)

Komentar