LOKASI
Gua Maria Sendang Jati
Gua Maria Sendang Jati
Alamat:
Desa Penadaran, Gubug, Jawa Tengah
Koordinat:
7° 7' 46.85" S 110° 41' 49.24" E
DISCLAIMER
Cerita ini berisi perjalanan menuju tempat-tempat ziarah yang disucikan bagi umat Katolik.
Cerita ini tidak bertujuan untuk memaksakan iman kepada umat penganut kepercayaan lain.
Cerita ini tidak bertujuan untuk memaksakan iman kepada umat penganut kepercayaan lain.
LET'S ROLL!
Berangkat dari Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, tanpa persiapan khusus pada Annette, kami melaju ke barat, menuju Purwodadi. Menikmati kondisi ruas jalan yang rusak parah hampir sepanjang perjalanan menuju Purwodadi melewati jalur tengah (Blora), jarak yang tak lebih dari 90 km ini berhasil saya tempuh dalam waktu tiga jam! Hingga tiba di pusat Kota Purwodadi dan saya memutuskan untuk sejenak beristirahat dan mencari informasi terkait tempat ziarah tujuan saya. Tidak ada tempat lain yang tepat untuk mendapatkan informasi mengenai Gua Maria selain di gereja Katolik itu sendiri. Tidak terlalu sulit menemukan Gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi, karena kompleks gereja berada tepat di sisi utara alun - alun Purwodadi dan berada di jalur utama Blora - Semarang. Sekitar dua puluh menit saya berada di dalam kompleks gereja, mencari informasi dan rehat dari perjalanan yang cukup melelahkan itu.
"Namanya 'Gua Maria Penadaran'. Tempatnya masih jauh dari sini, sudah masuk ke Paroki Gubug."
Ujar seorang pastor yang belakangan saya tahu bernama Emanuel Nuwa, MSF.
"Nanti kamu belok kiri sebelum jembatan panjang Gubug, ya. Kalau sudah lewat jembatan dan masuk Kota Gubug berarti kamu kelewatan."
Kata beliau lagi dengan logat Indonesia timur yang kental.
Secara lingkup administratif pemerintahan, Purwodadi dan Gubug berada dalam Kabupaten Grobogan. Namun tempat ziarah yang akan saya kunjungi itu sudah masuk dalam lingkup Paroki Gubug, walaupun keduanya masuk ke dalam Rayon BUSIDIANA (guBUg - kuduS - patI - purwodaDI - jeparA - juwaNA).
Setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan, tanpa membuang waktu saya melanjutkan perjalanan menuju Gubug, yang hanya berjarak sekitar 40 km dari pusat Kota Purwodadi. Tak banyak perbedaan yang saya temui selama perjalanan dari Purwodadi menuju Gubug, dengan perjalanan sebelumnya dari Padangan menuju Purwodadi: JALAN RUSAK!
Beberapa ruas jalan memang sudah memakai perkerasan keras berupa cor beton, namun tak sedikit juga yang masih berupa lapisan aspal yang mengelupas, dan beberapa titik antrian kendaraan dari pekerjaan perbaikan ruas jalan. Saya sempat ragu ketika tiba di jembatan yang sudah disebutkan sang pastor. Untuk memastikan tidak salah arah, saya mencoba bertanya kepada beberapa tukang ojeg tepat di ujung jalan. Kurang sopan memang sikap saya sore itu ketika bertanya, dengan posisi masih berada di atas motor dengan mesin yang masih menyala, tanpa melepas helm, bahkan dengan balaclava yang masih melekat. Beruntung seorang tukang ojeg mau menjawab pertanyaan dan tidak tersinggung dengan posisi saya itu.
Suasana pertigaan |
"Dua belas kilo (meter) lagi ke sana"
Jawabnya sambil menunjuk ke selatan.
"Nanti kalau ada jalan bercabang, ambil jalan ke kanan."
Imbuhnya lagi seraya menggambarkan posisi jalan dengan kedua tangannya.
"Jalannya rusak parah! Nggak kayak gini."
Katanya lagi sambil tertawa ketika saya bertanya kondisi jalan menuju Penadaran.
Jalan masuk sepanjang kurang lebih delapan kilometer itu dicor beton dengan lebar kurang lebih enam meter. Cukup ramai kondisi jalan itu. Entah karena hari itu sabtu, atau memang lingkungan dengan keseharian yang ramai. Beberapa kali saya melewati tugu batas desa hingga persimpangan yang dimaksud oleh tukang ojeg tadi. Kondisi jalan yang cukup nyaman itu tiba-tiba harus berakhir menjadi jalan berbatu. Tidak besar memang, karena masih terlihat sisa-sisa lapisan aspal lama di sisi terluar jalan. Sebuah saluran irigasi dengan pintu air dan sebuah jalan inspeksi menyambut saya di ujung jalan. Belum menemui tanda-tanda daerah bernama Penadaran, dan khawatir telah salah mengambil rute, kembali saya berhenti untuk bertanya kepada penduduk sekitar. Kurang lebih dua kilometer lagi harus saya tempuh melalui jalan inspeksi menuju sebuah jalan berbatu di seberang saluran irigasi yang agak tersembunyi jika dilihat dari kejauhan.
Cukup hati-hati, saya mulai mengamini petunjuk arah tukang ojeg tadi. Jalan parah yang ia sebutkan memang benar-benar parah. Mungkin pada awalnya jalan ini hanya jalan setapak dari tanah, dan untuk menghindari selip ban karena licin, pada kemudian hari dilapisi oleh bebatuan berukuran kepalan tangan. Mungkin karena sudah dimakan usia sehingga lapisan tanah di permukaan jalan ini sudah aus, dan hanya tersisa jalan berbatu. Disambut rute dengan tanjakan cukup terjal ditambah bebatuan tajam, membuat Annette kewalahan mendaki rute yang sebenarnya tidak terlalu tinggi itu. Setelah diuji dengan track mendaki, kini saatnya menguji keterampilan pengereman dalam medan terjal menurun. Rimbunnya pepohonan dan rumpun-rumpun bambu di sisi kiri dan kanan jalan cukup membuat matahari sore itu sedikit terhalang, namun juga membuat kondisi lembab, sehingga bebatuan rawan licin. Terengah-engah, kami melanjutkan jalan berbatu menyusuri persawahan dengan perlahan-lahan. Lurus, memang, namun Annette tidak didesain untuk melewati jalanan berbatu. Selain itu saya menjaga agar tidak melewati bebatuan tajam yang jika kurang hati-hati bisa merobek ban.
Menengok tripmeter Annette yang hampir menunjukkan angka dua belas kilometer dari pos ojeg di awal perjalanan, penantian saya berakhir ketika saya menemukan sepasang 'piramid' dari batu bata bertuliskan "Welcome to Penadaran". Sebuah tugu desa yang dibuat cukup unik, bahkan untuk ukuran desa yang berada di dalam pelosok. Tepat setelah gerbang desa, sebuah jembatan kayu menyambut para pendatang.
'MAX 5 TON'
Sebuah rambu-rambu berwarna merah tertulis pada sebuah papan putih yang sudah usang. Jembatan itu melintang di atas sebuah sungai yang tak terlalu lebar dan dalam, bahkan airnyapun tidak deras. Selebar tak lebih dari tiga atau empat meter, minibus atau truk engkel merupakan kendaraan terbesar yang dapat melintasinya. Melewati jembatan, mulailah tampak sebuah 'peradaban'. Desa ini seolah tampak seperti mengisolasi diri. Jalan berbatu digantikan dengan rabat beton selebar masing-masing satu meter di sisi kiri dan kanan jalan, dengan jalan tanah dan batu di tengahnya. Pada awalnya saya tidak cukup jeli memperhatikan penunjuk arah menuju Gua Maria yang tertutup dedaunan dari pohon di belakangnya dengan dahan yang menjuntai turun.
Mengikuti penunjuk arah, melewati jalan rabat, dengan rumah-rumah kayu warga di sisi kiri - kanan jalan. Tidak terlalu ramai sore itu di Desa Penadaran. Mungkin sebagian besar warga desa sedang sibuk di sawah, ladang atau dengan kesibukan mereka masing-masing. Berkendara sangat pelan, saya kemudian dikejutkan dengan bangunan megah di sisi kiri jalan.
'Gereja Katolik Santo Paulus Penadaran Gubug'
Tulisan yang tertempel di tembok luar bangunan mewah itu. Walau tidak mencium bau cat, namun saya sangat yakin jika gereja itu merupakan bangunan baru. Belakangan seorang teman kerja yang telah melihat foto gereja yang saya unggah di situs jejaring sosial, bercerita bahwa di tahun sebelumnya, ketika ia mengunjungi tempat ini, masih dalam tahap pembangunan.
koordinat gereja |
"Pasti sedang ada kegiatan mudika." Pikirku
Seorang ibu yang tengah berdiri berbincang dengan beberapa anak tersenyum ramah padaku.
"Monggo. (jawa: Mari)" Sapa beliau.
Tanpa pikir panjang saya turut menghampiri beliau untuk sekedar menanyakan arah menuju Gua Maria. Cukup kaget saya ketika melewati bus yang terparkir di situ setelah membaca tulisan pada secarik kertas kuarto yang tertempel di kaca depan bus.
'Rombongan Ziarah dan Baksos PKKMK UNNES'
Sungguh sebuah kebetulan bertemu dengan para mahasiswa Katolik dari almamater saya di tempat ini. Beberapa mahasiswi dengan kaos bertuliskan identitas organisasi yang sebelumnya berbincang dengan ibu itu mulai menarik diri dan berjalan menuju gereja, tempat rombongan mereka berkumpul. Mengobrol dan memperkenalkan diri saya mulai bertanya rute menuju Gua Maria kepada warga lokal ramah itu.
"Kalau mau istirahat sebentar boleh kok, Mas. Istirahat di pasturan saja, nanti saya panggilkan koster biar dibukain pintunya." Kata beliau setelah tahu bahwa orang yang sedang bertatap muka dengannya datang jauh-jauh dari Bojonegoro, Jawa Timur.
"Kalau mau ke Gua Maria lewat sana, ada perempatan ke kiri, ikuti jalan aja, Mas."
Kata beliau lagi,"Kalau sepeda (motor) naik aja sampai depan sumur gua. Sore ini nggak ada misa atau acara lain. Tapi kalau bawa mobil atau bus kayak rombongan ini, ya parkir di lapangan voli."
suasana gereja |
suasana gereja |
suasana di dalam gereja |
jalan salib di samping gereja |
Sejenak saya duduk di undakan pasturan untuk melepaskan protektor dan rehat. Bangunan pasturan ini terbuat dari kayu dengan tipe panggung, walau hanya setinggi sekitar setengah meter dari permukaan tanah. Dua buah rak buku terdapat di serambi pasturan. Beberapa majalah bekas berbagai jenis tersusun rapi di dalamnya. Secarik kertas bertuliskan aturan bahwa buku-buku itu hanya boleh dibaca di tempat dan tidak boleh dipinjamkan tertempel di atas rak buku. Setelah mengambil beberapa foto gereja, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Gua Maria.
Mengikuti jalan rabat beton masuk lebih dalam ke desa, suasana sejuk mulai menyambut. Di salah satu sudut, terlihat beberapa warga sedang duduk mengobrol. Rupanya sore itu warga Desa Penadaran tengah rehat dari kegiatan memanen jagung dari ladang. Tumpukan jagung yang menguning terlihat memenuhi teras dan di dalam rumah warga. Warga lain sedang sibuk menggelar terpal plastik di halaman rumah, bahkan sampai di tengah jalan untuk alas menjemur pipilan jagung. Berhati-hati agar tidak terinjak, saya melewati beberapa jemuran jagung di tengah jalan, hingga akhirnya tiba di sebuah lapangan voli. Lapangan itu merupakan akhir dari jalan rabat beton desa, selebihnya jalan setapak dari tanah menuju bukit yang tak terlihat lagi di antara rimbunnya pohon jati. Sayup-sayup saya masih dapat mendengar suara dengung mesin penggiling padi dan jagung. Seorang warga memanggul karung berisi daun kering berjalan melewati saya, sambil tersenyum dia berkata,"Sepeda (motor) langsung naik aja Mas."
Mencoba saran ibu di depan gereja dan warga tadi, saya membawa Annette menyusuri jalan setapak. Sebenarnya saya tidak terlalu yakin dapat melewati jalur itu dengan kondisi Annette yang membawa box belakang dan samping dengan muatan hampir penuh. Ngeri juga ketika saya melaju di atas jalan rabat beton selebar satu meter yang disusun lebih tinggi dari tanah lumpur. Walau hanya setengah meter, namun jika kurang hati-hati dalam menyeimbangkan beban box samping, bisa-bisa saya bisa jatuh konyol terjerembab ke dalam lumpur. Tak jauh terdapat pos perhentian pertama jalan salib. Selain berbahaya, saya tidak akan mungkin dapat mengambil foto jika mendaki bersama Annette. Kepayahan mencari tempat untuk memutar, saya kembali ke lapangan voli dimana bisa sejenak mengistirahatkan Annette. Melepas jaket dan tidak membawa barang yang tidak penting, saya mulai berjalan menuju lokasi Gua Maria Sendang Jati.
koordinat tempat parkir |
Berada di dalam wilayah Perhutani, Gua Maria ini sudah dijadikan kawasan perlindungan. Sendang Jati, sesuai namanya, Sendang berarti mata air yang membentuk kolam, dan jati adalah pohon jati. Pos perhentian Jalan Salib dibuat dengan sederhana dari bangunan pasangan batu dengan atap kecil di atasnya. Batang-batang bambu yang disusun berbentuk huruf "T" tertancap di beberapa sudut. Batang-batang bambu itu berguna sebagai obor, karena belum ada penerangan dari listrik yang dibuat sepanjang jalur Jalan Salib yang juga mendaki bukit menuju gua. Jalur pendakian sudah dibuat secara permanen, dan beberapa jalan sudah dipasang paving block, sehingga Anda yang akan mengunjungi tempat ini tidak perlu khawatir tidak kuat mendaki bukit atau akan tergelincir karena jalan tanah yang licin. Sampai di pos perhentian ke-10 yang masih setengah jadi. Berbeda dengan pos perhentian sebelumnya, di perhentian ini dibuat seperti gunungan wayang yang menjulang tinggi. Tepat di samping pos itu ada sebuah balai yang sedang dalam proses pengerjaan. Seorang pekerja tengah sibuk dengan pekerjaannya, sehingga mengacuhkan saya yang mengambil beberapa gambar di situ. Jalur Jalan Salib naik-turun ini akhirnya berakhir pada pelataran bawah. Beberapa bangunan juga sedang dibangun di pelataran bawah. Meniti undakan unik dari tatanan silinder-silinder beton, menuju pelataran gua atas yang lebih rindang lagi karena pepohonan besar tua dengan sulur-sulur yang menjuntai. Beberapa pekerja tengah sibuk mengerjakan ornamen dan membersihkan pelataran gua. Dengan kondisi setengah jadi seperti itu, pelataran atas sudah dapat ditempati oleh kira-kira lima ratusan orang.
koordinat gua |
Kembali turun ke plaza, saya memilih duduk di undakan depan altar untuk sejenak berdoa. Menggunakan aplikasi doa buatan DECIMA, saya cukup membuka smartphone untuk memilih dari ratusan Doa Katolik yang hendak dipanjatkan. Selesai sejenak bermeditasi, saya berniat melanjutkan eksplorasi ke beberapa sudut Gua Maria Sendang Jati, hingga terhenti pada sebuah kolam kecil dengan air yang keruh. Pada awalnya saya mengira air itu bercampur dengan semen, karena banyaknya pekerja yang sedang mempercantik tempat ziarah itu. Namun setelah dijelaskan oleh penduduk lokal bahwa air di kolam kecil itu memang belum bisa dijernihkan, dan merupakan salah satu sendang di Sendang Jati bernama Sendang Wadon (Sendang = kolam mata air, Wadon = wanita). Sedangkan Sendang Lanang (Lanang = laki-laki) berada jauh dari kompleks Gua Maria.
sendang wadon |
"Mbangunnya satu-satu, Mas. Mulai dari ini (Gua Maria) dulu." Kata seorang pekerja yang mengantarkan saya berjalan menuju Sendang Lanang melewati tunas-tunas pohon jati.
"Itu disana." Tunjuknya di tepian tebing. "Jalannya belum jadi, masih setapak. Bahaya kalau jalan kesana sendirian" imbuhnya.
Sambil mengantarkan saya kembali ke kompleks gua, dia bercerita bahwa di dekat Sendang Lanang sudah diletakkan patung Santo Yosef. Sendang Lanang sendiri masih berada di tengah ilalang dan rumput liar. Hingga dia menyarankan untuk naik lagi ke atas bukit di belakang gua untuk melihat replika salib Yesus.
Sore itu tidak ada jadwal misa di Gua Maria Sendang Jati, namun mulai banyak peziarah yang berdatangan. Keheningan hutan jati dan semilir angin sore turut menghantarkan saya berjalan menuruni bukit.
Membayangkan proses perjalanan 'menemukan' Gua Maria Sendang Jati, Gubug bagi saya sungguh bukan suatu hal yang kebetulan. Bukan karena kekuatan diri, melainkan saya percaya bahwa kuasa Roh Kudus sendiri yang telah menuntun di setiap putaran roda Annette, dimana Ia telah memudahkan jalan dengan berbagai pertolongan orang-orang yang saya temu, walau hanya sekedar menanyakan arah.
Sedikit tips dari saya jika Anda hendak berziarah ke Gua Maria Sendang Jati, Desa Penadaran, Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Datang bersama rombongan? Kendaraan sampai sebesar minibus saja yang bisa masuk ke desa. Jangan nekat datang dengan rombongan bus pariwisata berukuran besar.
Semoga bermanfaat
Berkah Dalem :)
Komentar