Exploring Bojonegoro (part 1)


INTRO
Sebagai sebuah kabupaten, Bojonegoro memiliki rentetan sejarah panjang, dari menjadi bagian Kerajaan Majapahit, peralihan Kesultanan Demak, Kerajaan Pajang, Kesunanan Mataram, hingga kini menjadi bagian dalam wilayah Provinsi Jawa Timur, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wilayah yang terbentang seluas 230 ribu Ha, yang juga dilalui oleh anak sungai Bengawan Solo ini memiliki kondisi geografis yang cukup unik. Pemerintah daerah setempat mencatat sebesar hampir 33% penggunaan lahan sebagai persawahan, hampir 43% sebagai hutan negara dan 24% tercatat sebagai lahan kering.
Ada apa di dalam daerah yang dibawah tanahnya mengandung cadangan minyak bumi di Pulau Jawa dengan curah hujan hanya sekitar 60 hari per tahun ini? Mari kita ekslporasi!

LET'S RIDE!
Senin pagi itu, awal bulan Juli, aku merasa sangat jenuh untuk bekerja. Tekanan pekerjaan. Tentunya sebuah fase lazim bagi setiap "kuli" yang setiap harinya berkutat dengan pekerjaan, berhadapan dengan atasan, beberapa kali bersinggungan dengan rekan kerja atau klien.


Oke..kalau kata 'kuli' terdengar terlalu rendah, saya akan mengubah menjadi 'karyawan' walau toh bermuara pada profesi yang sama.
Tak ada pilihan lain selain melarikan diri sejenak. Persetan dengan segala proses pekerjaan hari ini, pikirku.
Riding dengan sedikit mengeksplorasi merupakan pilihan tepat. Melihat kegiatan masyarakat, sukur-sukur bisa melihat para 'kuli' lain dan membuktikan apakah di dunia ini cuma aku yang hidupnya tertimpa kemalangan.
Yah..rasa syukur terkadang bisa didapat tak hanya dari hasil meditasi, duduk diam berkontemplasi selama berjam-jam hingga kaki kesemutan. Namun juga dari perjumpaan dengan orang lain, berbagi cerita dan pengalaman.
Seperti biasa, aku melakukan perjalanan lintas provinsi. Eits..jangan kagum dulu, karena letak rumah kos dengan perbatasan provinsi hanya sekitar 10 km haha..
Aku ingin menjelajah ke sebelah utara kabupaten, tempat yang juga terdapat banyak penambangan minyak mentah. Tak begitu paham tempat itu adalah nama desa atau kelurahan atau mungkin beberapa kelurahan. Dari Padangan, Jawa Timur menuju Cepu, yang secara wilayah administratif masuk ke dalam Kabupaten Blora, Jawa Tengah, aku ke utara, kembali masuk ke wilayah Jawa Timur.
Kawengan.
Nama daerah yang kulalui. Jalan yang tak terlalu lebar, tapi cukup lah untuk lalu-lalang truk trailer pengangkut alat-alat pengeboran minyak bermuatan berat melintas di atas permukaan aspal yang tak rata.
Teringat di tahun 2008 hingga 2009 lalu, aku pernah ikut menggarap perkerasan aspal di sana. Sudah kurang lebih 4 tahun, dan tak heran ada banyak aspal jalan yang terkelupas.

Sepanjang perjalanan aku berpapasan dengan para 'pembalap' minyak. Orang-orang desa yang menggantungkan hidup keluarga mereka dengan menjual hasil minyak mentah dari penambangan minyak tradisional di Desa Wonocolo. Dengan sepeda motor berbagai jenis. Motor bebek hingga semi sport, dengan huruf depan pelat nomor beragam, mereka melaju seakan jalan yang mereka lalui rata dan tak ada rem di motor mereka. Jok belakang motor mereka sudah ditindih dengan keranjang anyaman bambu berisi masing-masing sebuah jerigen kapasitas sekitar 30 liter di kiri dan kanan, juga di tengah, atas, dan depan. Mungkin sekitar 100 atau 150 liter solar mentah, yang sering disebut 'solar Wonocolo' mereka distribusikan ke lapak-lapak penjual BBM kaki lima di seluruh kabupaten. Tentunya bukan jenis bahan bakar yang aman untuk dikonsumsi kendaraan bermesin disel, karena proses penyulingan dari penambangan minyak masih sangat tradisional.

Sampai di Desa Wonocolo, aroma solar sudah menyengat. Membaur bersama udara. Sangat kontras dengan keadaan di desa-desa sebelumnya, dimana mata dimanjakan oleh hamparan sawah, hutan-hutan jati dan sesekali aroma kotoran sapi ketika melintasi permukiman warga. Tempat ini berbukit-bukit. Sejenak aku berhenti untuk mengambil foto di sebuah kilang minyak tua. Sudah tidak ada minyak yang bisa disedot dari sumur itu. Mungkin lima, sepuluh, dua puluh atau mungkin sejak dari zaman penjajahan kolonial Belanda? Tak ada catatan di sekitarnya.


Sayup-sayup aku mendengar raungan suara mesin truk. Sangat kasar namun konstan. Dan suara raungan mesin lain, dan yang lain lagi. Belakangan aku baru tahu kalau suara itu ialah suara mesin yang digunakan untuk menambang minyak. Pemodal besar menggunakan mesin baru, sedangkan beberapa kelompok masyarakat lain memanfaatkan mesin truk tua untuk kegiatan penambangan mereka.
Miris rasanya aku melihat kondisi lingkungan di sana.
Rusak.
Kolam-kolam kecil di sisi tebing, dengan sisi luar yang nampak terbakar. Hasil pembukaan lahan oleh masyarakat. Banyak juga yang sudah kosong, namun dibiarkan terbengkalai begitu saja. Kolam-kolam yang masih ada sisa minyak, bercampur air dan lumpur. Tidak ada upaya pengembalian fungsi lahan sebagai hutan, atau ladang.
Kotor, penuh ceceran minyak yang menggenang di tanah. Tidak dapat meresap kembali ke dalam tanah, juga tidak bisa mengalir keluar.
Foto? Ah, hanya memotret Annette di pinggir sumur tua tadi saja sudah ada beberapa warga yang melintas memberikan pandangan galak. Sorot wajah mereka seolah berkata, "Sampeyan siapa? Pergilah! Jangan ganggu kami!"
Mungkin mereka kira aku ini semacam intel atau mungkin wartawan atau mungkin seorang penggiat lingkungan. Seorang bukan dari desa dengan sepeda motor besar, memotret kegiatan mereka di sana-sini. Tak bisa dibayangkan jika benar-benar ada kelompok penggiat lingkungan yang datang dan menutup usaha mereka karena dinilai merusak lingkungan.
Disaat seperti ini ingin rasanya punya kamera kecil semacam sportcam yang bisa ditempel di helm. Sehingga aku bisa merekam atau memotret kegiatan itu sambil tetap berkendara, dan tanpa kecurigaan.

Yaa..emang ngrusak lingkungan sih, tapi kalau kegiatan penambangan itu dihentikan, bagaimana nasib keluarga mereka?
Pertanyaan klasik dari mereka yang kemudian akan mengaku sebagai rakyat kecil alias 'wong cilik'.

Bagaimana dengan peran pemerintah daerah melihat kondisi lingkungan yang seharusnya masuk kedalam daerah perhutanan, dan sekarang beralih fungsi menjadi area penambangan rakyat, bahkan yang sudah terbengkalai?

Don't asked bro..this is Indonesia!
Tau sendiri lah bagaimana proses birokrasi didalamnya.

Kenapa dibiarkan?
Anggap saja pemerintah daerah tidak tahu. Selesai perkara!

Jauh lebih aman daripada saya menulis disini tanpa dasar dan analisis jelas yang menyudutkan bahwa mereka telah menerima aliran dana dari usaha penambangan rakyat itu.

Bisa dituntut nanti saya karena pencemaran nama baik..


Oke..baiklah..saatnya kembali melanjutkan perjalanan..
Meninggalkan area penambangan rakyat dengan deru suara mesin-mesin kasar itu. Menyusuri jalan tanah yang terjal yang berakhir di sebuah desa. Cukup maju dengan bangunan-bangunan permanen. Maksud saya, walaupun berada di daerah perbukitan, namun bukan tipe desa tertinggal.
Karena terletak di tanah yang mengandung minyak, tak heran perusahaan negara dan beberapa perusahaan asing turut andil dalam membiayai daerah-daerah yang memiliki potensi minyak cukup besar. Dari perekrutan tenaga-tenaga, listrik masuk desa, pembangunan fasilitas umum, sekolah, madrasah, hingga kantor-kantor pemerintahan desa. CSR, Corporate Social Responsibility (ies), sebuah bukti tanggung jawab moral yang ditunjukkan atas 'ganti' aksi tlanyakan mereka diatas tanah warga.




Terus naik, terus menanjak, dan akhirnya aku tiba di tempat yang sudah direncanakan.
Sebuah oli rig nampak disebuah tanah lapang, menggantikan pemandangan rimbunnya tetumbuhan di bukit itu. Dan ternyata bukan satu, tapi dua.
Alat-alat penambangan minyak. Saya kurang paham dengan dunia perminyakan, namun selanjutnya sebut saja alat itu sebagai oil rig, walau entah secara resmi dinamakan apa.




Cukup sepi disana. Sangat sepi malah.
Sebuah oil rig berwarna biru-kuning dan satu lagi yang berukuran lebih besar di ujung lapangan berwarna hijau. Keduanya bergerak, berderak, berputar, bekerja dalam hening hutan memompa liter demi liter minyak mentah dari perut bumi ke dalam pipa-pipa panjang. Entah berapa ratus kilometer lagi sampai ke ujung pipa, yang entah bermuara dimana di dalam hutan ini.
Di pagar luar tertempel sebuah papan berisi beberapa informasi singkat dan peraturan penggunaan perlengkapan pengaman.
Puas mengambil beberapa foto, aku kembali melaju. Kukira hanya itu, tapi ternyata ada sebuah lagi beberapa ratus meter di depan. Kali ini lebih besar dari kedua oil rig pertama tadi. Tidak ada seorangpun, hanya benda besar hitam itu di tengah sebuah tanah lapang, juga bergerak bersama hening hutan.


Beberapa ratus meter kedepan, ada beberapa persimpangan dengan penunjuk arah menuju oil rig lain, dan akhirnya aku sampai pada yang besar ini.
Berdiri sendiri di tanah seluas lapangan sepak bola, atau mungkin lebih luas lagi. Sebuah tanah lapang hasil pemotongan bukit. Bekas minyak masih terlihat jelas di tanah yang menghitam. Beberapa kolam kecil dengan saluran-saluan yang sudah kering juga ada di sekitar alat itu. Sebuah gubug kecil terbuat dari papan tripleks berada jauh di ujung lapangan, berada dekat dengan hutan. Entah ada atau tidak orang disana, atau hanya gubug kosong, atau mungkin panel instrumen? Aku sama sekali tidak berniat melongok, bahkan mendekatinya pun tidak.



Melanjutkan perjalanan, aku kembali masuk ke dalam perkampungan. Sebuah bangunan dengan arsitektur kuno era kolonial Belanda tampak menonjol diantara rumah-rumah penduduk. Sebuah tanda larangan masuk tertera di pagar depan bangunan itu. Dari kejauhan terlihat beberapa orang yang mengenakan wearpack biru dan topi proyek putih mondar-mandir di dalam ruangan.

"Jangan masuk kesana, mas. Itu kantor pertamina. Nanti disuruh pergi lo. Satpamnya galak-galak!" Kata seorang pemilik warung kelontong di perkampungan itu ketika aku menanyakan bangunan apa itu.
"Apalagi kalau sampeyan bukan orang situ." Tambahnya lagi.
Sangat jelas, karena saya memang bukan karyawan perminyakan.
"Itu (jalan) buntu. Lewat jalan turun saja. Bisa tembus ke Malo atau Cepu." Katanya setelah aku bertanya rute keluar dari desa itu.

Kondisi jalan keluar dari desa itu lebih parah, apalagi setelah meninggalkan gerbang distrik. Saya lebih memilih kembali lewat Cepu untuk kembali ke Padangan, ketimbang lewat Malo karena akan memutar lebih jauh.


Setidaknya pelarian hari itu cukup sukses, membawaku sejenak terbang melintasi hutan, bergumul dengan aroma minyak mentah yang menyita oksigen, terhanyut dengan gerak pompa oil rig yang tetap tenang dalam kesendirian mereka di tengah hutan, dan tak lupa rasa syukur.

Sekian :)

Komentar