INTRO
Sebagai sebuah kabupaten, Bojonegoro memiliki rentetan sejarah panjang, dari menjadi bagian Kerajaan Majapahit, peralihan Kesultanan Demak, Kerajaan Pajang, Kesunanan Mataram, hingga kini menjadi bagian dalam wilayah Provinsi Jawa Timur, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah yang terbentang seluas 230 ribu Ha, yang juga dilalui oleh anak sungai Bengawan Solo ini memiliki kondisi geografis yang cukup unik. Pemerintah daerah setempat mencatat sebesar hampir 33% penggunaan lahan sebagai persawahan, hampir 43% sebagai hutan negara dan 24% tercatat sebagai lahan kering. Ada apa di dalam daerah yang dibawah tanahnya mengandung cadangan minyak bumi di Pulau Jawa dengan curah hujan hanya sekitar 60 hari per tahun ini? Mari kita ekslporasi!
LET'S RIDE!
Waktu menunjukkan hampir jam satu siang ketika aku melintasi sebuah ruas jalan yang cukup lengang di Kecamatan Temayang, Selatan Bojonegoro. Pemandangan yang sudah lazim kutemui di Bojonegoro walau sudah memasuki pertengahan Bulan Okteber 2013 ini: lahan pertanian dan kebun kering. Cuaca siang itu cukup terik untuk memaksaku berhenti beristirahat. Sebotol air mineral yang kubawa langsung habis kureguk. Sudah beberapa kilometer aku menempuh jalan ini. Ruas jalan dengan hamparan aspal yang masih cukup baru, masih halus dan rata. Sangat berbeda dengan jalan akses dari Persimpangan Jetak, Bojonegoro ke selatan menuju Dander yang sebagian besar sudah bergelombang dan rusak kecil disana-sini.
Melanjutkan perjalanan. Melewati perkampungan yang cukup ramai. Sangat kontras dengan pemandangan beberapa kilometer sebelumnya. Berkendara santai sembari membuka helm flip-up, membuatku dapat dengan jelas melihat aktifitas penduduk desa itu. Lelaki tua, kurus, bertelanjang dada, berkulit gelap hasil dari kerja kerasnya bertahun-tahun lalu, tengah sibuk menjemur dedaunan -mungkin pelepah pisang- di pekarangan rumahnya. Beberapa anak berlomba mengayuh sepeda mereka, membuktikan siapa yang terkuat dan tercepat. Ibu-ibu yang sibuk berbelanja di warung kelontong sambil sedikit bergunjung. Kerumunan pemuda yang asyik "cangkrukan" di warung kopi. Kantor pemerintahan desa yang tutup, karena memang hari itu hari libur.
Sebuah rambu penunjuk jalan tertulis, lurus menuju ke arah Sugihwaras, belok kanan ke Nganjuk. Belok kanan karena tujuanku jelas ke arah Nganjuk. Tapi, sebelum terus duduk di atas sadel motor, isi perut dulu. Tepat beberapa meter setelah aku berbelok terdapat sebuah warung makan dengan menu lokal. Menu Jawa Timuran, cak! :D
Seporsi rujak petis dan semangkuk es campur cukup membuat badanku segar, walau belakangan kepalaku pusing setelah minum es dari warung itu. Sembari mengisi daya hp, aku mengumpulkan informasi tentang destinasiku kepada pemilik warung.
"Tujuh belas kilo (meter) lagi, mas. Jalannya ya kayak gini. Kelok-kelok, naik-turun. Tapi, jalannya sepi kok" kata pemilik warung makan itu yang kemudian diamini oleh beberapa pengunjung warung lain.
Beberapa penjelasan rute dan cerita dari sang pemilik warung mengenai tempat tujuanku, untuk kemudian aku melanjutkan perjalanan.
Cukup aneh, menurutku, atau mungkin baru kali ini aku menemui seorang yang dapat detil menceritakan rute, bahkan besaran jarak yang tepat. Maksudku, ketika sebagian besar orang akan memberikan perkiraan jarak menggunakan angka genap atau bulat secara acak atau sekedar asal-asalan, semisal 5, 10, 20 km, karena kebanyakan orang enggan memperhatikan tripmeter pada kendaraan mereka selama perjalanan. Tapi ibu paruh baya pemilik warung itu dengan tepat memberikan jarak tempuh dan menggunakan angka ganjil: 17 km.
Menurut saya itu sangat WOW!
*maaf lebay lagi
Benar juga, melewati rute yang berkelok dan naik-turun, dan tak banyak berpapasan dengan pengguna jalan lain, akhirnya setelah 17 km tiba juga aku pada sebuah gapura dengan tulisan tempat yang aku tuju: AREA WISATA WADUK PACAL KEC. TEMAYANG KAB. BOJONEGORO.
close enough, but not bad karena 17 km hanya sampai pada gapura masuk lokasi. Terus berkendara dalam trek menurun namun cukup landai, dari sana aku bisa melihat pemandangan desa dan sawah gersang di bawah. Beberapa tebing berbatu yang longsor tanpa tulisan peringatan dan akhirnya beberapa kelokan kemudian aku tiba di depan pintu gerbang lokasi wisata.
Seorang petugas menghampiri dan memberi isyarat untuk segera membayar tiket masuk. Tidak mahal, apalagi ketika kulihat harga yang sudah kubayar sama seperti angka yang tertera dalam secarik kertas kumal itu. Tiga ribu rupiah.
Beberapa pemuda tanggung memberikan isyarat sembari sumbang meniup peluit yang menempel di bibirnya. Memanfaatkan potensi lokal sebagai petugas keamanan parkir bukan merupakan ide yang buruk. Lihat sisi baiknya, selain pemuda-pemuda ini memiliki kegiatan positif, mereka diajarkan untuk bertanggung jawab kepada para pengunjung. Aku memilih memarkirkan Annette di samping kantor pengelola tempat wisata. Setelah merapikan jaket kamerad ke dalam box, dan membuat mini tank bag menjadi tas selempang, aku berjalan meninggalkan tempat parkir.
Beberapa warung kecil, dentuman musik yang keluar dari beberapa pengeras suara sebagai hiburan kepada pengunjung, dan beberapa pengunjung yang acuh terhadap kehadiranku seakan menyambutku menaiki lokasi. Tulisan 'Waduk Pacal' sebagai identitas lokasi terpampang gagah di bagian dinding luar spillway (bangunan pelimpas) waduk. Aku tidak menemukan data mengenai sejarah tempat ini, tapi angka 1933 yang tertulis di atas ruang kendali waduk mau tak mau memberikan asumsi kepadaku bahwa waduk ini mulai beroperasi pada tahun 1933. Berarti kala itu masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda? Correct Me If I'm Wrong karena saya tidak terlalu memperhatikan materi dalam pelajaran sejarah sewaktu sekolah dulu. :shy: :shy:
Tepat delapan puluh tahun sudah sejak pertama kali waduk itu dioperasikan sebagai sumber cadangan air wilayah selatan Bojonegoro, atau mungkin juga hingga pusat Bojonegoro.
Berbeda dengan Waduk Gajahmungkur di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, yang dibangun pada rezim pemerintahan Presiden Soeharto, dimana demi pembangunan waduk ini harus menenggelamkan ratusan desa, jika Waduk Pacal dibangun sebelum tahun 1933, maka belum banyak desa atau bahkan tidak ada desa yang tenggelam kedalam waduk itu. Tapi, lagi-lagi ini hanya asumsi yang kubuat saja.
Musim kemarau di Bojonegoro ternyata membuat waduk seluas 84 hektar ini juga mengalami kekeringan. Beberapa sumber setelah mengunjungi tempat ini saya dapatkan, ternyata waduk ini mampu menampung sebanyak 44 meter kubik air, dan kini airnya benar-benar surut! Dari depan puncak bendungan tempatku berdiri, dapat jelas terlihat dasar waduk, dengan beberapa gugusan pulau buatan. Pasti sangat seru jika air di waduk ini terisi penuh, dimana pengunjung dapat menyewa kapal untuk dapat menjelajah waduk dan singgah ke pulau-pulau kecil itu.
Hari semakin sore dan aku coba mengeksplorasi sebisanya tempat itu. Tidak terlalu banyak pengunjung, karena memang tidak ada yang bisa dinikmati dari waduk kala itu. Beberapa anjungan kecil dengan beberapa wahana bermain untuk anak sudah disiapkan di beberapa sudut. Waduk yang termasuk kedalam kategori bendungan besar, karena memiliki kedalaman sekitar 25 meter ini hanya menyisakan sedikit air yang sudah berubah warna menjadi kehijauan. Beberapa perahu nelayan dan kapal-kapal kecil untuk berwisata air dibiarkan terdampar di dasar waduk. Entah berapa hektar area persawahan di daerah hilir yang juga kering karena kosongnya debit air di Pacal. Upaya pemerintah untuk menjaga debit air dengan membangun bendungan-bendungan primer pada tahun 2000-an di hulu sungai ternyata tidak dapat membantu mengatasi kekeringan ini.
Dari atas tebing di sisi barat waduk, aku juga tidak memdapatkan pemandangan yang menakjubkan. Lalu apa lagi? Hari makin sore dan beberapa pengunjung sudah mulai meninggalkan tempat itu. Sejenak melepas lelah di sebuah warung dan memeriksa apakah ada panggilan atau pesan masuk di hp dan BB, tapi ternyata kedua gadget-ku ini tidak mendapatkan sinyal. Bagus deh :)
Sedikit berkorespondensi dengan pemilik warung yang ternyata tengah berkemas menutup warung miliknya itu.
"Disini nggak ada hiburan, mas. Kalau sudah lepas maghrib suasanannya ngeri." Kata pemilik warung yang ternyata tidak tinggal di dalam area tempat wisata itu.
Memang hutan-hutan jati mengelilingi waduk ini, dan hal ini diiyakan oleh petugas loket ketika aku hendak meninggalkan taman wisata ini.
"Kalau malam ditutup, mas. Kurang penerangan, jadi membahayakan pengunjung. Lagian ngapain di waduk malam-malam?" Katanya sambil tertawa.
"Nganjuk masih sekitar 30-40 km lagi. Mending balik arah ke Bojonegoro saja, cuma 35-an km." Tambahnya setelah tahu aku datang dari arah Bojonegoro dan menanyakan arah ke Nganjuk.
"Kalau mau pulang ke Semarang memang lebih enak lewat Nganjuk, trus Ngawi - Solo." Jelasnya.
"Wah..jadi tambah nggak nyambung gini" pikirku, karena hanya ia tahu plat nomorku dari Semarang dan menganggap aku hendak melanjutkan perjalanan ke Semarang.
Tapi memang niat hati sebelumnya ingin berkendara hingga ujung selatan Bojonegoro. Keluar dari gapura, aku mengambil arah ke kanan, ke selatan, ke arah Nganjuk, meski sudah diperingatkan oleh petugas loket tadi bahwa jarak yang akan kutempuh lebih jauh. Lagi-lagi trek yang berkelok dan naik-turun, rindangnya hutan jati dan beberapa kali melewati persawahan dengan kondisi jalan aspal yang masih mulus membuat perjalanan menuju Nganjuk tidak terlalu meletihkan.
Entah kenapa aku ingin melanjutkan perjalanan terus ke arah timur. Minimal jadi bisa berfoto di Alun-Alun Nganjuk sambil menikmati lagu dangdut berjudul sama. Heheh..
Tapi hari sudah mulai petang, dan aku tidak boleh terlalu banyak membuang waktu. Perjalanan dari Nganjuk ke arah barat seakan membuka nostalgiaku akan perjalanan pulang setelah JAMNAS 4 Prides dari Pacet, Mojokerto hampir setahun yang lalu. Kala itu kami berkendara dalam keadaan hujan lebat, berbeda dengan kondisi sore itu. Ketika hari ini hari libur dan besok aktifitas harus sudah kembali normal, artinya sore ini ada arus balik besar-besaran dari mereka yang telah menjalani liburan. Sama halnya sore itu di jalur utama Nganjuk - Madiun. Jingganya mentari sore beberapa kali membuatku kehilangan fokus berkendara di Madiun, hingga aku melewati warung pecel kecil di daerah Saradan, Ngawi. Warung yang menampung kami waktu itu sejenak beristirahat menghindari hujan, walaupun akhirnya kami kembali kehujanan dan kocar-kacir di jalur Mantingan - Sragen :D
Tapi aku tak punya banyak waktu untuk bernostalgia. Senja tenggelam ketika aku memasuki Kabupaten Ngawi. Belok kanan menuju arah Padangan, dimana aku harus mempersiapkan diri untuk pekerjaanku esok.
Mungkin aku sangat bodoh sore itu dengan menempuh rute yang terlalu jauh memutar untuk kembali ke kontrakan, tapi kebodohan itu terbayar dengan kepuasan batin yang kudapat petang itu.
Entah kenapa...
Ataukah mungkin diantara Anda para penyuka perjalanan menggunakan sepeda motor juga merasakan hal yang sama?
Dan aku tak sabar untuk kembali merencanakan perjalanan mengeksplorasi dan bertindak bodoh :)
Komentar