Dona Nobis Fortitudo (2)




LOKASI 
Tempat Doa dan Semadi Bukit Kendalisodo

Alamat: Glodogan, Harjosari, Bawen, Kab. Semarang 50661

Koordinat: 7° 13' 19.7" S 110° 24' 44.5" E


DISCLAIMER
Cerita ini berisi perjalanan menuju tempat-tempat ziarah yang disucikan bagi umat Katolik.
Cerita ini tidak bertujuan untuk memaksakan iman kepada umat penganut kepercayaan lain




Masih sama seperti kunjunganku sebelumnya (baca ceritanya yang masih amburadul di sini), tempat ini tetap membuatku kelelahan. Sudah ketahuan kalau aku jarang sekali berolah raga, sehingga sudah hampir putus nafas menapaki tiap anak tangga menuju pelataran doa.

Perjalanan dari Jalan Raya Semarang- Bawen sudah banyak berubah. Selain jalan utama yang sudah dibeton dan dipasang kanstin (pembatas jalan) sehingga calon pengunjung dari arah Semarang harus memutar terlebih dahulu sebelum masuk gang, juga seingatku dulu pernah dipasang sebuah papan penunjuk jalan di sisi timur jalan berwarna ungu yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Bedanya, sekarang di mulut gang sudah terpasang papan penunjuk jalan baru, walau menurut saya, tidak terlalu terlihat.




Jalan masuk dari mulut gang sampai menuju gereja stasi kondisinya masih sama: rusak. Melewati persawahan yang hijau dengan suara latar belakang mesin-mesin industri. Terkadang juga masih banyak pengguna jalan yang intoleran memacu kendaraannya dengan cukup kencang sehingga membuat debu beterbangan. 

Hal baiknya, aku bisa sebentar berhenti untuk mengambil beberapa foto di situ.





Beberapa papan penunjuk jalan baru juga telah dipasang di beberapa titik seperti tikungan untuk memudahkan calon pengunjung mencapai tempat doa ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi cukup terlihat, tidak seperti papan penunjuk di depan gang. Tidak semua dapat terfoto.



Kondisi gereja stasi terlihat masih sama. Karena pintu gerbang tertutup, aku tidak bisa masuk ke pelatarannya untuk mengambil beberapa foto. Toh hari itu bukan Hari Minggu.

Sebuah spanduk terentang menunjukkan kalau aku sudah tiba di lokasi. Beberapa papan penunjuk juga terpasang. Sebuah berisi peraturan dan himbauan sikap peziarah, namun kurasa titik peletakannya yang kurang tepat, karena berada di persimpangan jalan dengan sebuah papan penunjuk lain di bawahnya berisi frase yang ambigu, "Masuk" dan "Dilarang Masuk". 




Sampai di depan toilet umum, terdapat sebuah papan penunjuk parkir (yang kurasa) baru. Motor parkir di atas, sedangkan mobil parkir di depan toilet. Mengarahkan Annette (nama yang kuberi untuk motorku) ke atas, melewati komplek makam dan kuparkirkan pada sebuah lahan datar, walau kulihat sebuah motor terparkir di tempat yang lebih tinggi lagi dekat dengan anak tangga menuju pelataran. Ngeri juga kalau aku memarkir Annette di sana walau lantai parkir sudah diplester, tapi dengan lahan miring seperti itu, aku khawatir kalau saja standarnya terpeleset. Motor seberat 160an Kg yang tergelincir dari tempat parkirnya.



Beberapa bahan material bangunan tergeletak di beberapa titik. Tempat ini masih dalam proses pembangunan menjadi tempat doa yang lebih nyaman bagi peziarah, terutama jalan salib.

Ternyata rambu 'Dilarang Masuk' tadi mengacu pada jalan salib. Terhitung belum sampai separuh stasi sampai pada proses finishing, sisanya bahkan baru dalam proses pemasangan batu bata. Masuk ke salah satu pelataran stasi jalan salib yang kurang lebih sudah 80% selesai. Tiap stasi dibuat dengan model yang sama dengan gaya ornamen atap keraton (sebut saja demikian). 

Di dinding bawah tiap stasi sudah tertempel rapi prasasti dari lempengan marmer, berisi nama pemberi sumbangan sehingga bangunan stasi itu dapat terwujud. Mungkin ini salah satu alasan kenapa pembangunan tiap stasi tidak selesai secara bersama-sama, atau mungkin juga memang jadwal pembangunan yang bertahap. Anggap saja alasan logisnya merupakan kemungkinan kedua.

Aku mencoba tetap berpikir positif. Mungkin prasasti yang terpasang itu diberikan sebagai tanda penghargaan bagi para donatur, bukan sebagai ajang pamer. Karena buat apa pamer kekayaan, apalagi di hadapan Tuhan? Konyol sekali kalau aku sampai berpikir seperti itu.






Menapaki anak-anak tangga sampai ke lereng bukit, tempat pelataran doa ini cukup membuatku kepayahan.

Beberapa jalan salib lama yang terbuat dari gambar yang dicetak seadanya dengan printer rumahan, dilaminating dan ditempelkan pada salib bambu sudah banyak yang hilang. Pun yang masih tersisa sudah tidak utuh lagi bentuknya.

Ada sebuah spanduk yang membuatku tergelitik membacanya ketika aku sejenak berhenti untuk mengatur nafas.

Sebuah ajakan untuk menyumbangkan dana demi perluasan TDS ini dengan cara membeli kapling-kapling tanah di sekitar TDS dengan harga Rp 75.000/ m² dengan iming-iming sebuah 'tabungan surgawi'. 

Mungkin panitia pembangunan ini mengambil ayat dari Injil Matius, 
"... "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya..." (Mat 6: 19-20)
Bagus juga ajakan mereka. Sah-sah saja (menurutku) untuk mengartikan sabda Tuhan, yaitu mendermakan harta kita untuk diberikan kepada pengelola untuk kemudian digunakan untuk membeli tanah demi perluasan TDS, toh artinya tidak melulu pengelola atau panitia menggantungkan dana pada paroki atau keuskupan.

Dua buah spanduk super lebar dipasang tak jauh dari situ, berisi rekapitulasi dana sumbangan.




Akhirnya sampai juga di pelataran TDS ini. Suasanya seingatku makin sejuk, asri dan rindang. Jalan setapak dan penataannya lebih rapi.



Tidak ada yang berubah pada susunan patung Yesus maupun Gua Maria, hanya penambahan beberapa pot berisi tanaman yang menjadikan suasana jadi lebih sejuk. Air yang keluar dari keran juga lebih jernih, segar dan tak berasa (karena pada kunjungan sebelumnya, air masih berasa tanah).

Perubahan-perubahan ini juga kuyakin tak lepas dari campur tangan Tuhan sendiri. Sama halnya ketika Yesus membuka hati orang-orang yang mendengarkan khotbah-Nya di bukit untuk saling berbagi, sehingga lima ribu orang itu dapat makan sampai kenyang, kini Ia berbuat hal yang sama yaitu membuka hati tiap orang untuk mau mendermakan milik mereka demi kemuliaan Tuhan.

Melihat sebuah spanduk besar di dalam pelataran tentang jadwal novena yang baru saja berakhir 1 Juni 2014 lalu, dan kembali akan digelar Bulan Oktober mendatang. Sebuah alamat web TDS tertera di bagian bawahnya. Menarik, ketika sekarang tak hanya keuskupan, paroki dan kelompok katergorial, namun juga tempat-tempat ziarah sudah mulai mewartakan karya Tuhan lewat dunia maya. 

Mengunjungi alamat web yang berbasis pada sebuah blog, terdapat sebuah halaman berisi sejarah TDS. Ternyata tempat ini mulai dirintis pada tahun 1985. 

"Kita yang memulai, Tuhan yang menyelesaikan", menjadi sebuah kalimat kunci semangat para pengelola dan panitia pembangunan untuk terus bekerja demi terwujudnya tempat ziarah yang kemudian diberi nama "Taman Doa dan Semadi Bukit Kendalisodo".

Pengunjung blog ini juga dapat ikut mengunjungi alamat mereka dan membaca sejarah TDS di sini.

Berikut ada perbandingan foto kunjungan pertama di Bulan Desember 2012 lalu dengan kunjungan terakhir awal Agustus 2014 lalu.








Bagi para pembaca yang hendak mengunjungi TDS, dapat mengikuti peta dan memasukkan koordinat GPS berikut:



Selamat berziarah, berdoa dan bersemadi.


Salam, hormat dan Berkah Dalem :)

Komentar