Lady Rose


LOKASI 
Gua Mawar, Boyolali


Alamat: Dukuh Munggur, Kec. Musuk, Boyolali, Jawa Tengah


Koordinat: 7° 32' 31.776" S, 110° 31' 59.424" E


DISCLAIMER
Cerita ini berisi perjalanan menuju tempat-tempat ziarah yang disucikan bagi umat Katolik.
Cerita ini tidak bertujuan untuk memaksakan iman kepada umat penganut kepercayaan lain




Cerita ini bukan tentang Feni Rose, sang presenter acara gunjingan pesohor di salah satu stasiun televisi swasta dengan gayanya yang khas itu. Atau bukan juga ulasan tentang salah satu judul lagu dari grup musik beraliran punk-rock asal Bali. Melainkan tulisan ini akan bercerita tentang Gua Maria Mawar yang ada di Dukuh Munggur, Kecamatan Musuk, Boyolali, Jawa Tengah.

Bermodal informasi seadanya tentang lokasi ini, aku memberanikan diri 'sowan' Sang Bunda yang ada di kaki Gunung Merapi ini. Bukan hal yang mudah, terlebih karena selain lokasi ziarah ini berada jauh dari pusat kota, juga petunjuk arah yang kudapat dari BBM seorang kenalan terkesan sekenanya. Tak heran kalau aku sempat tersasar sampai masuk ke sebuah desa yang berjarak sekitar 6 km dari Gunung Merapi karena kurang cermat memahami arah yang diberikan.




Jalan menuju lokasi cukup lengang. Mungkin warga setempat masih sibuk bersilaturahmi atau sebagian lagi sedang berangkat Jumatan. Maklum, siang hari itu Jumat, 1 Agustus 2014 dan masih dalam suasana lebaran. Kalau cuma truk engkel sih kurasa masih bisa masuk ke dalam desa ini. Hanya ada beberapa titik yang permukaan aspalnya rusak, pun tidak terlalu parah.

Jalan terus naik. Angin segar pegunungan mulai menerpa. Umbul-umbul sudah terpasang di sepanjang jalan. Entah untuk memeriahkan lebaran atau untuk menyambut HUT Proklamasi RI yang jatuh di tanggal 17 Agustus kelak.

Kuperlambat laju Annette walaupun trek ini makin menanjak. Selain ingin menikmati suasana desa yang asri dengan segarnya udara pegunungan, sebenarnya aku juga ingin bertanya kepada penduduk lokal. Kalau ada. Sayangnya siang itu aku tidak menemukan aktivitas warga di luar rumah. Kuhentikan laju Annette tepat pada sebuah papan rambu yang tertutup sebagian oleh umbul-umbul.

"Info Gua Maria Mawar" dengan sebuah panah kecil ke kanan, isi tulisan dalam papan rambu itu.


Panah itu menunjuk pada sebuah rumah sederhana bercat jingga dan warna lantai keramik yang senada. Pekarangannya luas. Kalau di daerah perkotaan, mungkin sudah untuk rebutan untuk dibuat kavling dua atau tiga unit rumah tipe 36. Hehe..

Beberapa mobil dan kendaraan roda dua terparkir di halaman rumah itu. Bahkan belum sempat aku memarkirkan Annette, seorang anak perempuan kecil menghampiriku dengan senyum ramah. Diikuti sang ibu di belakangnya yang menyapaku.

"Mari, mampir dulu, mas." Sapanya.

"Mau ke gua, kan? Istirahat dulu sambil isi buku tamu, ya" lanjutnya lagi.

Namanya Ibu Petrus. Tentu beliau adalah istri dari Pak Petrus, sang empunya rumah. Terlihat sang suami sedang sibuk menjamu para tamu lain. Sedikit berbincang dan menanyakan arah menuju gua, aku berpamitan dan berjanji akan mampir setelah dari gua nanti.



Dari kediaman keluarga Pak Petrus, aku langsung menuju arah gua sesuai petunjuk arah yang diberikan. Arahnya seperti apa? Jika Anda berminat berkunjung, ada baiknya Anda HARUS mampir dulu ke rumah keluarga Pak Petrus Winardi atau mereka memperkenalkan diri cukup sebagai keluarga Pak Petrus ini.

Kenapa?

Nanti akan saya jabarkan jawabannya.

Sampai pada sebuah gapura besar berwarna ungu (atau cenderung pink) bertuliskan, "Margo Suci Ambuka Gusti". Artinya kira-kira, "Jalan Suci Membuka Tuhan". Di belakangnya terpahat kalimat yang sama dalam aksara jawa.



Ah..mungkin karena ada tempat ziarah di situ, jadi dibuatlah tulisan religius seperti itu, pikirku.

Melewati gapura, aku disambut oleh sebuah gapura lain berbentuk pura. Masuk ke dalam Dukuh Munggur itu, aku serasa berada di Bali. Terlihat dari tata letak rumah yang rapi dan beberapa ornamen di dalam kampung itu. Belakangan baru aku tahu kalau mayoritas penduduk di kampung itu memeluk Agama Hindu Bali.


Kembali mengikuti petunjuk arah yang tadi diberikan oleh Ibu Petrus, akhirnya aku tiba di tempat parkir. Sebuah pekarangan rumah warga yang tak terlalu luas dan tanpa fasilitas keamanan atau peneduh layaknya tempat parkir. Seorang lelaki paruh baya keluar dari rumah dan menyapaku ramah. Dia memberiku petunjuk arah menuju gua.




Pihak kampung minta untuk 'mengambil alih' parkir peziarah, setelah sebelumnya para peziarah bebas parkir. Hitung-hitung jadi pemasukan dana untuk warga kampung itu. Pendapatan Asli Daerah, gitu lah. Hehe..

Memang pengunjungnya belum sebanyak di Gua-gua Maria lain yang sudah besar atau terkenal, meskipun pada hari libur seperti saat itu. Namun rutin setiap malam Selasa Kliwon dimulai jam 5 petang diadakan misa, pengunjungnya bisa membludak. Bahkan jalan-jalan kampung dapat penuh oleh sepeda motor, mobil, bahkan minibus para peziarah yang ingin mendekatkan diri pada Tuhan lewat Bunda Maria. Meskipun dalam kampung itu warga Katolik 'hanya' Bunda Maria, namun sambutan warga lain tak kalah antusias. Tak jarang mereka turut mengais rezeki dengan cara menggelar dagangan berupa hasil bumi hasil pertanian dan perkebunan mereka. Dengan adanya tempat ziarah ini kampung mereka menjadi sedikit lebih terkenal dan terjamah. Padahal ditahun 1980-an kampung ini masih mirip dengan kampung primitif karena akses menuju gua belum dilewatkan pada Dukuh Munggur ini. Uniknya, demi melindungi tempat ziarah ini, terutama dari pihak yang mungkin saja mengklaim tanah gua sebagai properti pribadinya, Bunda Maria dicatatkan sebagai warga kampung. Bunda punya Kartu Keluarga (KK) sebagai warga Boyolali. Haha..

Dari tempat parkir itu, peziarah cukup mengikuti tanda panah dan mulai off-track atau keluar jalur desa. Menyusuri jalan setapak dari tanah sebagai akses dari kampung menuju gua. Tak banyak bunga yang tumbuh di kanan-kiri jalan setapak itu sama seperti pada kebun bunga modern, namun cukup untuk bisa memanjakan mata peziarah. Gemericik suara air Sungai Munggur memecah keheningan hutan. Tapi jangan coba-coba melihat seperti apa sungai itu, karena berada jauh di bawah jurang dengan batu-batu besar di dasarnya. Sungai ini yang menjadi sumber mata air bagi warga kampung, bahkan sejak dari tahun 1948. Di tahun itu tinggalah seorang pengungsi bernama Bp. Poerwoadmodjo. Beliau lari bukan dari wedhus gembel atau serangan awan panas Gunung Merapi, namun bersembunyi dari kejaran tentara Belanda dalam agresi militer mereka yang kedua. Disebutkan bahwa beliau adalah katekis pertama di Boyolali. Setiap kali hendak mandi, harus melewati sebuah tempat yang angker di sebuah ladang bunga mawar tepat di atas pemandian. Beliau sering melihat sosok seorang puteri berdandan seperti pengantin dengan kaki yang tidak berpijak ke tanah. Sosok itu sering bersemayam pada sebuah ceruk dalam tebing kecil. Dari pengalaman iman (bukan mistis) inilah, Bp. Poerwoadmodjo kemudian mengusulkan bahwa tempat tersebut dijadikan sebagai tempat peristirahatan Bunda Maria.





Follow up dari pihak paroki cukup lambat. Tercatat baru pada tahun 1956 proses pembuatan gua dimulai, terhenti dan kembali menggeliat pada tahun 1978. Tempat peristirahatan Bunda ini diberkati dan diresmikan pada tanggal 25 Juni 1982 dan dinamakan Gua Mawar. Nama ini diambil karena selain bunga mawar disimbolkan sebagai keharuman Sang Bunda, juga karena warga kampung ini menjadikan bunga mawar sebagai komoditas selain tanaman palawija. Lalu proses ini berhenti lagi. Sampai pada akhir tahun 1980-an Bapak dan Ibu Petrus yang sering berziarah, berdoa dan bermati raga di sana memberanikan diri untuk menjadi pengurus gua hingga sekarang.

Jalan setapak yang bersih dari dedaunan kering ini berakhir pada sebuah anak tangga menurun yang terbuat dari plesteran semen. Walau Bunda sendiri sebagai 'warga Katolik' di kampung, namun warga dengan sukarela mau membersihkan jalan dari rumput liar, dedaunan kering dan sampah-sampah lain.




Sampai di bawah, sebuah gubug (begitu Pak Petrus menyebut hasil karya beliau) berdiri di atas hamparan paving block. Sebuah bangunan terbuka dengan struktur kayu sederhana beratapkan seng, cukup untuk melindungi peziarah dari teriknya matahari dan hujan. Sebuah ceruk alami terdapat di tebing depat di depan gubug itu. Tapi, loh..dimana patung Maria? Apakah dicuri sama seperti di Gua Maria Marganingsih? (baca ceritanya di sini). 

Ternyata memang pada tahun 1982 lalu saat peresmian, diputuskan untuk membuat Gua Maria di atas ceruk. Dan ceruk alami yang berbentuk setengah bola yang hampir sempurna ini dipercaya merupakan tempat 'sosok' wanita yang memperlihatkan diri kepada Bp. Poerwoadmodjo 66 tahun silam.

Di sisi tebing sudah dibuat undakan lagi ke atas menuju 'pelataran' gua. Sedangkan di ujung gubug ada undakan ke bawah, menuju kamar mandi. Aku turun dulu karena..yaa..gitu deh.. Tapi ternyata tiga bilik terkunci semua. Ah..sialan!




Kebetulan saat itu ada rombongan keluarga dari Surabaya yang berziarah. Kami semua naik bersama. Dan 'pelataran' itu tidak cukup luas untuk lima orang yang berdiri di sana. Sebuah gua buatan dengan patung Sang Bunda yang berada dalam sebuah kerangkeng. Waktu itu gerbangnya dibuka. Kami menyalakan lilin, meletakkannya di dalam gua dan berdoa bersama. Dalam hati masing-masing. Hehe..






Selesai berdoa dan mengambil beberapa foto, kami semua turun dan sedikit berbincang di gubug. 

"Sudah nih, begini aja?" kelakar ibu itu kepada ketika kami semua menyusuri jalan menuju pulang.

Dan ternyata tidak cuma aku saja yang punya pertanyaan terhadap tempat ziarah ini. Yang ada di benakku sebelum datang ialah tempat ini cukup luas dan nyaman. Membayangkan diriku duduk-duduk santai di sekitaran gua untuk melepas lelah dan bisa berkeliling mengambil beberapa foto. Menyusuri jalan salib, hingga ngobrol santai sambil menghirup kopi di warung milik penduduk lokal. Namun ternyata semua angan-angan itu terbantahkan ketika sampai di sana. Mungkin memang sepertinya tempat ini harus lebih dipromosikan. Nampaknya pihak Keuskupan belum melirik Gua Mawar ini sebagai aset kekayaan iman Katolik. Ah...siapa tahu ada pembaca yang berminat untuk memberikan sebagian miliknya untuk membuat tempat ini lebih layak lagi dikunjungi, karena cuma menulis saja yang kubisa. Itupun hanya tulisan sembarangan. 

"Kalau belum ke rumah Pak Petrus, nanti jangan lupa mampir, mas" saran mereka. Mungkin lebih sebagai memberi sebuah petunjuk.

Berpisah di tempat parkir, mereka nampaknya langsung melanjutkan perjalanan. Sedangkan aku memang ingin sowan ke rumah keluarga Pak Petrus.

Di sana aku disambut oleh Bapak dan Ibu Petrus sendiri. Rumah yang sederhana tapi nyaman. Sebuah buku tamu terletak di sudut ruangan dengan sebuah kotak dana pembangunan. Kenapa diletakkan di dalam rumah, alih-alih ditempatkan di sekitar lokasi ziarah?

"Dulu pernah hilang, mas" kata Bu Petrus. 

"Bukan cuma uang persembahannya, tapi diambil sekalian dengan kotak dananya." sambung beliau, "Mungkin ada yang sedang butuh."

Bagaimanapun juga walaupun pasutri ini yang mengajukan diri sebagai pengurus gua, namun mereka mengaku tidak pernah nombok terkait dana pembangunan.

"Entah gimana, tapi seperti sudah jadi rezeki Bunda, mas" kata Pak Petrus.

"Banyak peziarah yang datang dan menitipkan dana. Terkadang mereka minta dana itu untuk direalisasikan menjadi jalan akses atau fasilitas pendukung lain, dan kami buatkan. Berapapun jumlahnya, walau pada awalnya kami sempat pesimis, tapi entah bagaimana seperti Bunda sendiri yang menolong" sambung beliau sambil menghirup rokoknya dalam-dalam.

"Ah..tapi dengan cerita seperti ini, jangan dikira kami ini sombong atau mengunggulkan diri loh, mas" katanya lagi cepat-cepat.

Dalam satu stasi itu, hanya terdiri dari 13 kepala keluarga (KK), dan masing-masing sangat berjauhan.

"Mungkin stasi kami ini lingkupnya hampir seluas sebuah kecamatan" kata Bu Petrus sambil mengira-ira.


Ah..mungkin kalau tidak ingat kalau hari itu masih dalam kemacetan arus balik para pemudik dan harus segera pulang lagi ke Semarang sebelum gelap, aku akan memilih untuk tinggal di sana sampai beberapa saat lagi.


Perjalanan pulang menuju Kota Boyolali terasa lebih cepat daripada ketika saat berangkat. Mungkin karena jalur yang menurun, juga pada saat berangkat aku masih dalam tanda tanya besar.

Ini jalurnya jika Anda berangkat dari arah Semarang/ Salatiga.


Karena aku bersama Annette, jadi jalur yang ditempuh ketika masuk Kota Boyolali adalah:


  1. Sampai di Tugu Adipura (bukan kalpataru ya) belok kanan, jalan naik menuju arah Selo/ Cepogo.
  2. Di perempatan traffic light belok kiri. Kalau ke kanan Anda akan kembali lagi ke perempatan Terminal Boyolali, dan jika lurus akan masuk kawasan wisata Selo.
  3. Sampai pada RSUD Pandan Arang, Boyolali, ambil jalur ke kanan arah Musuk (lihat foto pertama).
  4. Track menanjak, tapi tidak terlalu curam. Terus naik sampai Anda masuk Kecamatan Musuk.
  5. Naik lagi, sampai menemukan pertigaan dengan sebuah patung petani di tengah-tengahnya, ambil jalur kiri. Karena kendaraan dilarang melintas kalau jalan terus (lihat foto kedua).
  6. Terus saja melintasi jalur itu sampai sekitar 3 km, sampai Anda melintasi sebuah jembatan besar dan belok kanan tepat di pertigaan dengan sebuah pos ojek dengan papan nama Amigos (nama sebuah pasar swalayan besar di Boyolali). (lihat foto ketiga)
  7. Selanjutnya Anda tinggal terus naik saja, sampai menemukan rambu 'Info Gua Maria Mawar' atau rumah keluarga Pak Petrus. Jangan lupa mampir ya..



Kalau dari arah Solo, mungkin sama juga jika masuk dari Kota Boyolali, atau jika Anda dari arah Klaten tinggal belok kiri ketika tiba di RSUD jika lewat dari jalur alternatif.

Sayangnya aku tidak melihat adanya angkutan umum atau angkudes yang melintas selama perjalanan menuju rumah Pak Petrus. Mungkin ada dan mereka sedang libur lebaran kala itu, atau kemungkinan terburuk tidak ada angkudes yang melintasi jalur itu.

Anda mengandalkan arah perjalanan pada GPS? I provide you the best! 

Halah..opo to?

Ini ada beberapa titik koordinat yang bisa Anda kunci jika ingin berziarah ke Gua Mawar.


Nah, tertarik ingin mengunjugi tempat istirahat Bunda Maria yang masih dikelola oleh Paroki Boyolali dan perlu banyak dukungan dana ini? Silakan berkunjung, berdoa dan bermati raga di sana.




Salam, doa dan Berkah Dalem :)


Sumber cerita selain dari perjalanan pribadi, juga merupakan hasil korespondensi dengan beberapa pihak secara langsung, dan mengutip dari goamawar.blogspot.com

Komentar

Anonim mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Unknown mengatakan…
Terima kasih atas ulasannya, mohon izin copy foto-foto suasana tahun 2014nya ya untuk dokumentasi, kebetulan saya akan berusaha membantu pengembangan kawasan ini, mohon doanya.
vinceney mengatakan…
Puji Tuhan..semoga bermanfaat