Ride for Others: Let's Ride for Books Share 2 - the story



Sunday, Nov 29, 07:38

Waktu yang ditunjukkan di layar ponselku beberapa menit setelah aku tiba di SPBU di seberang sebuah rumah sakit internasional di bagian barat Kota Semarang.
SPBU ini menjadi titik kumpul kedua yang disepakati sebagai tempat pemberangkatan kelompok kedua Books Share kali ini. Delapan menit terlambat dari waktu yang ditentukan, yakni setengah delapan pagi. Sempat mengalami kendala dalam perjalanan tadi sehingga sedikit terlambat. Aku memutuskan untuk ikut dalam rombongan keberangkatan kedua karena tentunya aku harus pergi ke gereja dulu sebelumnya. Sesuai di obrolan group WhatsApp, hanya ada aku dan Pak Wisnu yang berada dalam rombongan ini, dan kami sudah bersepakat bahwa "setengah delapan TENG berangkat" karena kelompok pertama sudah disepakati berangkat pada pukul setengah tujuh sebelumnya.

Kami berencana pergi ke SMP Negeri Satu Atap, Desa Notogiwang, Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan untuk menyalurkan bantuan berupa buku-buku bacaan untuk siswa-siswi di sana. Rencana ini sudah kami susun berbulan-bulan lamanya. Lalu kenapa harus ke tempat sejauh itu? Kebetulan waktu itu Bang Zul, yang bekerja di BASARNAS, sedang melakukan tugas penyelamatan bencana di Kabupaten Pekalongan, dan bertemu dengan teman lamanya yang kebetulan mengajar di sekolah itu. Setelah dilakukan survey awal, kemudian disepakati sekolah itu kami pilih untuk diberikan bantuan karena selain lokasinya yang masih sulit dijangkau, para siswa di sekolah itu memiliki banyak prestasi, terlihat dari puluhan trophy yang menumpuk, namun belum terlalu mendapat perhatian untuk mengembangkan potensi mereka.

Awalnya, kegiatan ini akan kami namakan "Gerakan 1.000 buku", tapi mengingat keterbatasan waktu untuk bisa mengumpulkan seribu buah buku, kami mengganti dengan nama yang lebih sederhana, yaitu "Books Share 2". Lalu yang pertama? Baca keterangannya di sini. Fokus awal kami untuk memberikan beberapa buku bacaan yang relevan yang bisa membantu meningkatkan potensi siswa-siswi di sana, beberapa rak buku, rak piala untuk memajang trophy-trophy hasil prestasi para siswa, beberapa poster yang berisi kalimat motivasi, dan tenda pramuka. Pada awalnya kami ingin sekalian membuat sebuah perpustakaan atau sekedar taman baca kecil, tapi mengingat keterbatasan dana dan waktu pengerjaan, maka pembuatan perpustakaan harus kami eliminasi dari daftar kegiatan.

Kembali ke titik kumpul ketika sinar mentari mulai beranjak naik dan menyinari tempatku berhenti yang semula teduh.

Wah...jangan-jangan aku sudah ditinggal nih..



Memang sepulang dari gereja sampai di titik kumpul itu aku tidak membuka obrolan di grup. Beberapa notifikasi, pemberitahuan obrolan yang belum terbaca dari grup tertera di layar ponselku, ternyata Pak Wisnu sudah menulis kalau sedikit terlambat karena ada kendala dalam knalpot motornya. Selebihnya hanya obrolan ringan seputar keberangkatan saja.

Aku berinisiatif menghubungi Bang Zul, koordinator kegiatan kali ini. Aku tahu kalau kakinya belum sembuh benar setelah terkilir beberapa hari lalu, jadi tidak mungkin dia akan berkendara sendiri. Kalau perkiraanku benar, maka dia hanya akan duduk manis di dalam mobil dalam kelompok pertama dan aku berniat untuk berkendara sendiri menyusul kelompok pertama. Tentunya dia akan langsung membalas ketika kuhubungi.

"Pak Wis trouble, kelompok pertama masih di H-10 (basecamp kami)."

Jawabnya singkat dalam pesan BBM yang kukirimkan.

Wah, kalau saling tunggu bisa berangkat siang nih.

Aku memutuskan berangkat ke barat sendiri, tentunya setelah memberitahukan rencana itu di grup. Karena kendala yang kualami belum beres, aku berencana untuk berjalan sendiri untuk memastikan Annette sudah benar-benar siap dan tidak akan merepotkan anggota kelompok jalan nantinya.



Baru berjalan beberapa kilometer ke barat, connetcting rod kembali lepas. Untung saja pagi itu belum banyak kendaraan berat yang melintas, karena aku sedang berada di lajur tengah kala itu. Kupasang karet seadanya dan coba untuk kuajak berkendara lagi. Beberapa kilometer kedepan lepas lagi, kupasang, berjalan beberapa kilometer dan lepas lagi. Sampai kira-kira tiga kali terlepas, kupikir akan menjadi sangat merepotkan kalau terus-terusan terjadi. Untung saja aku membawa selotip di dalam tools kit. Kuikat sendi connecting rod dengan selotip seadanya dan kucoba untuk berkendara. Sampai beberapa kilometer ternyata masih aman, ketika aku memutuskan untuk berhenti di tapal batas. Kembali kuperiksa ponsel. Beberapa notifikasi di grup WhatsApp dan pesan BBM masuk.

Tentunya aku memberi kabar kalau kondisiku (maksudnya kondisi motorku) sudah baik, bisa berkendara normal sampai di depan Terminal Bus Mangkang, tapal batas kota.

"Jumadi dan Bayu OTW ke tempatmu, kalian berangkat bareng aja, jangan sendiri-sendiri." Jawab Bang Zul dalam pesan singkat BBM.

Mungkin lama, pikirku, jadi kuambil kamera dari dalam tank bag untuk sekedar mengabadikan suasana pagi itu di tapal batas kota. Belum sempat melakukan satu jepretan, sebuah Pulsarstrada look merah ber-pannier dan MegaPro hitam ber-top box berwarna senada datang mendekat. Ternyata yang kutunggu sudah tiba. Sedikit berbincang tentang kendala yang kualami dan bagaimana aku mengatasinya, kami bertiga memutuskan berangkat sebagai kelompok pertama. (WHAAATT..??)

Memutuskan untuk slow riding, jalan pelan-pelan, setelah memberitakan di grup karena toh nantinya kami akan tersusul dan bisa re-group, kumpul, lagi entah di Kendal, Batang atau Pekalongan.

"Mas Son depan," kata Jumadi, "Jadi nanti kalau troubel lagi ada yang jaga di belakangnya."

Bener juga sih. Sudah lama juga nggak jadi RC - Road Captain di rombongan.

Oke, kami bertiga berangkat dari tapal batas menuju ke barat, sementara pesan yang masuk memberitahukan kalau kelompok-kelompok di belakang juga sudah mulai berjalan.

Jalan pelan-pelan.

Masuk Weleri, belum ada yang menyusul...

Melintasi Kendal, belum juga ada yang menyusul...

Alas Roban, belum juga ada tanda-tanda dari kelompok di belakang...

Batang, masih sama..

Sampai di perbatasan Pekalongan, aku memberi tanda kepada rombongan untuk berhenti di sebuah warung soto tauto beberapa ratus meter sebelah barat SPBU pertama setelah melintasi gerbang Kabupaten Pekalongan.

Tunggu di sini sambil istirahat, kataku yang tentunya diiyakan dengan penuh semangat.



Kira-kira pukul sepuluh ketika aku memberitahukan posisi terakhir kami yang sedang 'sarapan', ketika tak lama berselang sebuah mobil hitam merapat. Kelompok ketiga sudah tiba. Bang Zul, Mbak Anggun, 'Presiden' Fatur dan Puspa. Bagian belakang mobil sudah dimuati banyak barang berupa buku-buku hasil donasi, papan, hingga rak buku. Pak Wisnu yang katanya melaju di belakang rombonganku ternyata datang pada urutan yang ketiga.

"Tadi tiduran bentar di Alun-alun Batang," katanya.

Kelompok terakhir yang merapat yakni Juri, Rifki dan saudaranya.

Jadilah kami re-group di warung soto itu untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke lokasi, tentunya setelah semuanya membayar makanan mereka.


Karena hanya Bang Zul yang tahu rute sampai lokasi desa yang dituju, maka Fatur take over lead jadi RC, disusul kami, tujuh motor dengan sepuluh nyawa. Rute dari Pekalongan sampai Kajen masih termasuk aman. Jalan beraspal yang mayoritas rata dengan pengguna jalan yang tidak terlalu padat tidak terlalu menyulitkan kami, meski beberapa kali rombongan terpecah.

Dari Kajen menuju Kawasan Wisata Linggo Asri rute mulai menanjak. Jalan berkelok dan beraspal halus dengan lebar jalan kira-kira tujuh meter tidak terlalu menyulitkan kami. Beberapa kali kami disuguhkan pemandangan alam memukau seperti bukit, lembah, jurang, persawaham hingga pemandangan kota dari atas. Beberapa kali kamipun merekam perjalanan di rute itu menggunakan perangkat video yang belum sempat diunggah :grin:

Beberapa ratus meter sebelum persimpangan menuju Kawasan Wisata Linggo Asri hujan mulai turun 'tanpa permisi'. Tiba-tiba turun dengan derasnya!

Untung saja tak jauh dari sana terdapat beberapa kios, sehingga kami dapat berhenti untuk memakai jas hujan dan mengamankan beberapa barang yang rawan basah ke dalam mobil.

Deretan kios itu terletak di dekat sebuah pertigaan jalan dengan sebuah tugu di tengahnya. Hujan sangat lebat sehingga aku tidak bisa membaca arah mana yang ditunjuk pada papan petunjuk kecil yang ada di dekat tugu. Seingatku, kami berjalan lurus ke selatan (bukan ke kiri) dengan jalan menurun, meski toh nantinya juga banyak tanjakan dan kelokan.

Keceriaanku tadi seolah pudar ketika harus melibas trek pegunungan dengan berbagai liukan ditengah hujan deras ini. Memang, jalur masih semuanya tertutup aspal yang masih halus, tapi cukup ngeri bagiku ketika harus melintasi jurang saat hujan. Beberapa kilometer perjalanan sampai mobil menyalakan sein ke kanan. Kami masuk ke sebuah perkampungan dan disambut dengan jalanan berbatu, tak sering beberapa warga sudah memberikan sedikit plesteran semen untuk memperhalus, walaupun juga membaut semakin licin dikala hujan seperti itu, beberapa jalan tanah dan jalan beraspal. Maksudnya jalan yang dulunya pernah diaspal. Lebar jalan ini tak lebih dari lebar mobil. Karena hujan masih turun, membuat bebatuan licin. Beberapa kali kami kesulitan melintasi rute itu. Motor yang lumayan berat, ditambah beberapa dari kami memakai box dan juga berboncengan. Tak jarang ada juga yang terjatuh karena tergelincir karena tidak ada yang tahu persis bagaimana kondisi jalan disana.

Sampai kami melintasi sebuah sekolah yang kami kira lokasi bakti sosial yang dimaksud, tapi ternyata bukan.

Duh!

Ternyata desa yang dimaksud masih jauh. Jalurnya masih mendaki dengan aspal yang mulai banyak yang terkelupas.

Sampai kami melintasi sebuah gapura sederhana bertuliskan, "Desa Notogiwang" yang artinya kami sudah tiba di desa yang dituju.

Sebuah sungai besar berarus deras dengan berbagai batuan besar di tengahnya berada di sisi kiri kami. Pemandangan yang cukup mempesona setelah beberapa kilometer kami dibuat tegang dengan melintasi jalur bebatuan licin.

Karena tidak sempat berhenti untuk mengambil kamera dan memotret karena hujan masih turun, maka foto sungai dan pemandangan Desa Notogiwang berikut saya ambil setelah melakukan pencarian pada mesin pencari Google.


Tak jauh dari sana, akhirnya kami tiba di lokasi.. at last..

Kami memarkirkan kendaraan di sebuah tanah lapang. Sebuah bangunan sekolah yang berada di atas bukit dengan hanya dua bangunan. Satu bangunan di atas yang terdiri dari dua kelas, dan sabuah bangunan lagi di bawah dengan tiga ruang kelas dan satu ruangan yang lebih luas untuk ruang guru. Di bangunan bawah itu tempat kami sedianya akan membuat ruang baca, mleteakkan rak buku dan membuat rak piala.




Awalnya kami nggak ngeh dengan kondisi di sana. Hanya terlihat beberapa tukang bangunan yang memang sedang membangung beberapa ruang kelas baru samping bangunan atas. Tapi ternyata ada banyak anak berkumpul. Mereka mengenakan seragam olahraga.

Ini Hari Minggu, pikirku.

Memang ada beberapa daerah yang menerapkan Kegiatan Belajar Mengajar di Hari Minggu, sedangkan libur pada Hari Jumat.

Tapi ini kan sekolah negeri?

Ternyata, tak dinyana dan tak kami sangka, para pengajar sengaja mengumpulkan para siswa di Hari Minggu pagi yang hujan hanya untuk memberi sambutan kepada kami.

WOOOWW..!!

Emejiiiiingg..!!

Kami tidak mengira akan mendapat sambutan semeriah itu.

Beberapa siswa berada di sebuah gubug kecil sambil membawa poster bertuliskan selamat datang, beberapa yang lain berada di depan kelas sambil bertepuk tangan. Di bangunan bawah juga sudah siap sebuah kelompok band yang menyambut kami. Bukan sembarang band, melainkan 'band' nasyid. Dengan rebana dan alat pukul lain mereka dengan semangat memainkan beberapa lagu diiringi ayat-ayat suci. (Maaf, saya nggak terlalu paham apa istilahnya)

Dung..prek..dung-dung..prek-prek....!


Para pengajar menyambut kedatangan kami dengan tak kalah semangat. Setelah melepaskan jas hujan dan jaket yang ikut basah, kami dipersilakan untuk masuk ke dalam sebuah ruang kelas.

Ruang kelas yang cukup umum jika berada pada bangunan sekolah di kota, namun ruang kelas ini sengaja disekat menjadi dua bagian menggunakan 'lapangan' tenis meja. Sekat sisi utara terdiri dari lima belas bangku, dan saya rasa sekat lainnya berisi sepuluh bangku. Ini yang menjelaskan kenapa sekolah ini dinamai Satu Atap, karena memang bangunan sekolah ini yang resminya adalah sebuah SMP, terkadang dipakai juga untuk kegiatan belajar mengajar siswa SD.

Bapak Kepala Sekolah dan para pengajar sudah berada di jajaran bangku paling depan. Sedikit kami bersilaturahmi. Beliau menceritakan kondisi sekolah, sedangkan kami menyampaikan maksud datang ke sana sambil menikmati hidangan yang sudah disiapkan.



Tak ingin banyak membuang waktu, kami segera menurunkan barang-barang hasil donasi yang berada di dalam mobil. Tanpa diperintah, beberapa siswa membantu kami mengangkat barang-barang ke dalam ruang kelas. Secara simbolik bantuanpun diserahkan kepada kepala sekolah, dan kami mulai mengerjakan segala hal yang sudah direncanakan (dan tak lupa foto-foto).




Hari masih hujan.

Ketika melihat kami sibuk, ternyata Bapak Kepala Sekolah tak mau tinggal diam begitu saja. Beliau mau ikut turun tangan membantu memasang poster di atas jendela ruang kelas.




Sementara di dalam ruang guru, beberapa sibuk memasang rak buku, menata buku dan membuat rak piala. Tak lupa membagikan pin untuk cenderamata bagi para siswa.



Sekolah itu berbatasan langsung dengan hutan pinus di bagian belakangnya. Sore itu kira-kira jam empat, ketika suasana dari dalam hutan mulai agak menyeramkan. Tapi ternyata tidak menyurutkan kami untuk foto-foto #halah



Setelah semuanya dirasa selesai, kami mulai berpamitan. Kehujanan selama perjalanan berangkat tadi membuat kami merasa sedikit kehilangan semangat untuk pulang. Ketika harus dihadapkan pada jalur pulang yang sama, yaitu melewati Kajen - Pekalongan - Semarang atau melintasi jalur baru, yaitu Dieng - Wonosobo - Temanggung - Semarang, kami harus memilih prioritas utama, yaitu keselamatan anggota kelompok, mengingat Jumadi sempat kehilangan baut rem pada saat berada di Linggo Asri. Sangat berisiko bagi kami jika harus melewati trek baru yang masih asing dengan kondisi anggota yang bermasalah.



Setelah melakukan foto bersama, ternyata sebelum pulangpun kami masih 'dicegat' oleh para guru untuk sejenak mampir di kediaman seorang pengajar untuk menikmati hidangan sore (setelah membantu motor Pak Guru yang tidak bisa dinyalakan).



Hal yang tidak kami sadari sedari siang bahwa ada pemadaman listrik di desa itu. Sehingga kami harus menikmati hidangan itu dalam kondisi remang-remang cahaya lilin.

Awww...so sweeeet...

Setelah untuk terakhir kali berpamitan kepada para pengajar dan yang empunya rumah, kami meninggalkan desa diiringi gema adzan magrib.


Perjalanan pulang tidak juga semulus perjalanan berangkat, karena kembali kami harus melibas trek turun gunung dalam rinai hujan. Beberapa kali kami harus menghindari longsoran tebing dan bekas pohon yang tumbang. Rupanya hujan angin mengamuk di daerah itu selama kami berada di desa. Hujan tak hanya sampai Kajen atau Pekalongan, namun hujan hampir merata hingga wilayah Weleri.

Dalam lelahpun kami masih bisa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk membantu sesama walau nilainya tak seberapa. Dua buah tenda pramuka untuk mengganti tenda pramuka yang sudah rusak, beberapa buku tulis dan alat tulis, buku-buku bacaan berupa ensiklopedia dan pengetahuan umum, rak buku, rak piala, bendera merah-putih dan beberapa peser uang untuk membantu dana pembinaan siswa sudah kami serahkan, meski ada diantara kami yang merasa tidak enak jika membandingkan jumlah bantuan yang besarnya tidak sebanding dengan mewahnya sambutan oleh para siswa, dan jamuan dari para pengajar.

Mengingat kerja keras sebelumnya untuk mengumpulkan donasi baik buku bekas, buku yang masih layak baca hingga uang tunai, berbelanja buku, hingga membuat rak-rak, baik oleh anggota rfoa lain yang ternyata di hari - H tidak bisa ikut meramaikan kegiatan seperti Resa, Franky Pak Guru Dodo dan lainnya, rasanya begitu manis ketika melihat senyum ceria anak-anak di sana. And, definetely, we don't came there for nothing! Jelas bahwa kami jauh-jauh datang kesana tidak untuk hal yang sia-sia.



Aah..semoga kami masih diberi umur panjang dan rejeki agar bisa terus membantu para siswa, tak hanya di SMP Negeri Satu Atap, Desa Notogiwang, Panginggaran, Pekalongan itu, tapi juga sekolah lain yang memiliki prestasi namun masih terhalang dengan minimnya sarana yang dipunya. Semoga gerakan kecil kami ini tidak dianggap riya atau hanya pamer saja agar kami mendapat pujian. Publikasi yang kami lakukan bertujuan untuk menjaring donatur-donatur lain agar lebih banyak lagi bantuan yang dapat disalurkan.

Beberapa cerita mungkin tidak bisa dibayangkan, karena sedikitnya foto yang bisa saya ambil untuk melengkapi cerita ini, tapi semoga dalam waktu dekat bisa mengedit video perjalanan dan diunggah dalam blog ini.


Tetap sehat, tetap semangat, biar bisa jalan-jalan dan Ride for Others lagi.




Salam :)

Komentar