Soto: Kudus Style!

Konon sekitar tahun 1500 M, ditengah surutnya Kerajaan Majapahit, seorang penyebar agama Islam bernama Ja’far Shoddiq masuk ke dalam wilayah Loaram, Jawa Tengah yang juga pusat agama Hindu kala itu. Karena kelelahan dan sangat haus, seorang pandita menolong ulama itu dengan memberikannya air susu sapi. Di tempat itu, sang ulama kemudian membangun sebuah masjid dan perkampungan untuk kaum muslim, yang kemudian oleh warga sekitar menyebutnya dengan 'Kauman', dan nama kota itu ia ganti sesuai kenangannya akan Yerussalem, tempatnya menimba ilmu, menjadi Al-Quds, yang kemudian dilafalkan menjadi 'Kudus'. Ulama itupun berganti gelar menjadi Sunan Kudus. Untuk menunjukkan rasa terima kasihnya atas jasa pandita yang telah menolongnya, ia melarang penyembelihan sapi di wilayah Kudus, karena sapi merupakan binatang yang disakralkan dalam agama Hindu. (sumber tulisan dari sini)

Walaupun zaman telah berganti, namun hingga saat ini sikap toleransi masa lalu itu masih kuat tertanam, dan beberapa olahan makanan di Kudus yang semula menggunakan bahan dasar daging sapi, telah diganti menggunakan daging kerbau. Sebut saja nasi pindang dan soto, selain beberapa kuliner khas lain seperti lentog, garang asem dan jenang kudus.

Ada dua jenis soto khas daerah ini, yaitu soto Kudus dan soto kerbau. Kali ini yang akan diulas (atau dimakan?) soto kerbau terlebih dahulu.

Beberapa tempat saya kunjungi sebagai pengambilan data dengan metode sample.

Apa siih?



Salah satu tempat yang terdapat banyak pedagang soto adalah Taman Bojana, tepat di bagian utara Alun-alun kota (-6.807041,110.842067).


Berjenis soto berkuah santan tipis, soto kerbau disajikan dalam mangkok saji yang lebih besar dibanding soto Kudus. Bedanya? Yaa..soto kerbau tentunya menggunakan daging kerbau sebagai isiannya.


Tampilan yang sangat sederhana, dengan porsi yang cukup mengenyangkan buat saya konsumsi. Potongan-potongan daging kerbau berwarna merah kehitaman tampak berserakan di mangkok. Rasa kuah sotonya tidak terlalu eneg, ya, mungkin karena menggunakan campuran santan encer.

Tambahan lauknya? Tenang saja! Ada banyak pilihan.



Sate jerohan, tahu dan tempe goreng tebal, perkedel yang digoreng dengan campuran telur berlebih, aneka goreng-gorengan, otak goreng, kerupuk, dsb.

Seporsi soto, wedang jeruk, sepotong tempe dan satu tusuk sate jerohan dibanderol Rp 20.000. Mengambil kesempatan? Entahlah. Akan diperbarui selanjutnya.

Baiklah, mari kita beralih untuk mencicip soto Kudus.

Saya berhenti di sebuah kedai soto di Jl. Agil Kusumadya, karena tepat pada jalur lambat kendaraan roda 2. Bagi Anda yang menggunakan mobil, tentunya akan sangat kesulitan untuk mencapai kedai ini jika tidak benar-benar hapal jalan tembus di Kudus. Lokasi kira-kiranya di -6.827505,110.831969 pada koordinat GPS.


Berbeda dengan soto kerbau, soto Kudus ini biasanya disajikan dalam mangkok kecil, menggunakan suwiran daging ayam, irisan kol, seledri dan disiram kuah kaldu keruh. Soto ini juga berjenis soto santan, hampir seperti soto kemiri Pati (baca ulasannya di sini) namun tidak terlalu pekat.


Dan, karena menggunakan kuah bersantan, maka rasa soto ini agak eneg, dan seperti yang diduga, rasa soto ketika Anda memutuskan menambah porsi akan terasa berbeda di lidah.

Terdapat beberapa lauk tambahan berupa telur asin, sate telur puyuh pindang, sate jerohan, otak goreng, perkedel, dan lain sebagainya.

Lalu, beberapa teman menyarankan agar saya mencoba mencicipi (maksudnya: membeli) Soto Kudus dengan cita rasa khas yang tiada duanya. Bahkan seorang teman bilang kalau soto disana adalah Soto Kudus terenak seantero Kota Kudus. Nama tempatnya Soto Kudus Bu Jatmi (atau Bu Djatmi) di Jl. K.H. Wahid Hasyim atau Kampung Panjunan. Kira-kira di -6.807773,110.839208 pada koordinat GPS.

"Warungnya kecil, tapi SUPER enak!" tulisnya memprovokasiku dalam pesan BBM.


Penasaran, sekali waktu saya mampir ke lokasi yang dimaksud.

Lebih mirip rumah makan ketimbang warung, karena ada banyak meja panjang yang sudah disusun berderet rapi didalamnya. Mengambil tempat duduk tepat di depan meja racik dengan bentuk pikulan pedagang soto, aku menunggu soto kerbau pesananku tersedia sembari mencoba mengobrol dengan sang penjual yang agak jutek.


"Semua Soto Kudus pakai kuah santan, hanya bedanya ada yang pakai santan agak kental atau ada yang encer, ada yang encer banget." Kata wanita paruh baya itu menjelaskan sambil menyodorkan semangkuk kecil soto kerbau untukku. Tak yakin beliau sendiri yang bernama Bu Jatmi atau hanya salah seorang pegawai warung itu.

"Mangkuknya memang kecil. Kalau soto ayam pakai mangkuk besar. Tapi, porsinya sama, kok." Imbuhnya lagi.


Segar juga menyeruput kuah soto pagi itu. Tidak terlalu manis dan eneg ketika bersentuhan dengan lidah. Hanya saja aku terlalu bersemangat menuangkan kecap kedalam mangkuk, sehingga bisa ditebak seperti apa rasa soto itu selanjutnya.

Sama seperti pedagang pada umumnya, di atas meja telah tersedia berbagai lauk tambahan. Perkedel dengan ekstra telur, sate daging, sate jerohan, tempe goreng, kerupuk dan lainnya.


Satu hal yang lupa kutanyakan sebelumnya pada teman-teman pemberi informasi tempat itu, yakni soal harga. Seporsi soto kerbau yang kusantap pagi itu bersama wedang jeruk, perkedel dan satu tusuk sate daging dibanderol dengan harga Rp 23.000.

Mahal? Memang!

Ternyata selain menjadi warung soto terlezat di Kudus menurut warga kota itu sendiri, Soto Bu Jatmi juga menjadi soto termahal disana. Harga tak pernah bohong? Bisa jadi begitu.

Walaupun ulasan ini masih sangat labil dan masih harus disempurnakan disana-sini, namun bagi Anda yang berminat mencicipi soto khas Kudus, silakan datang dan berkunjung salah satu kota wali penghasil rokok terbesar.


Bon Appétit :) (Perancis: Selamat Makan)

Komentar