Maria, Sang Bintang Laut



LOKASI 
Gua Maria Stella Maris, Lasem

Alamat: Jalan Raya (Pantura) No. 34, Kec. Lasem, Kab. Rembang, Jawa Tengah

Koordinat: 6° 41’ 40.2” S 111° 26’ 21.85" E


DISCLAIMER
Cerita ini berisi perjalanan menuju tempat-tempat ziarah yang disucikan bagi umat Katolik. 
Cerita ini tidak bertujuan untuk memaksakan iman kepada umat penganut kepercayaan lain.








Jam 12 siang itu ketika aku tiba di depan pintu gerbang bercat putih yang sebagian catnya sudah terkelupas, menonjolkan deretan karat. Gerbang itu tertutup. Tidak tampak aktivitas manusia dibalik gerbang itu, hanya gonggongan anjing yang terdengar dari dalam. Beberapa menit aku termangu di depan pintu gerbang yang tingginya tak sampai sedada itu, sampai akhirnya aku memberanikan diri menggeser pintu besi yang menimbulkan suara berderik keras, berharap ada orang yang akan keluar mendengar suara itu.



Tapi ternyata tidak.


Salak anjing-anjing di dalam makin menjadi ketika aku berjalan memasuki pekarangan sebuah bangunan besar bercat pastel di balik gerbang tadi. Dan tidak ada juga orang yang keluar memeriksa kenapa anjing-anjing itu terus menggonggong.

Mungkin karena bertepatan dengan jam istirahat, jadi tidak ada seorangpun dalam kompleks gereja itu. Hal yang sangat beresiko meninggalkan gereja tanpa seorang petugaspun di dalamnya.

Aku berada di pelataran Gereja Katolik St. Maria Immaculata, Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, tempat yang memang menjadi tujuan utamaku. Beberapa waktu sebelumnya ada informasi yang masuk ke meja redaksi (halah) kalau ada Gua Maria di sebelah gereja Lasem. 



Meninggalkan Annette di luar pagar, sementara aku masuk mengitari kompleks gereja. Anjing-anjing di samping gereja terus menggonggong. Kukira mereka diikat, tapi setelah kudekati ternyata tidak ada tali atau rantai yang mengikat mereka, tapi anehnya kenapa mereka hanya menggonggong saja ketika ada orang masuk ke 'wilayah kekuasaan' mereka?

Mencoba berkeliling ke sisi timur, dimana terdapat sebuah bangunan yang terlihat seperti kantor atau mungkin juga toko Devosionalia namun aku juga tidak menemukan orang disana. Mengitari sisi barat gereja, aku menemukan sebuah pintu, yang didalamnya terdapat sesuatu yang menjadi tujuan utamaku: kompleks Gua Maria. Tentu saja gua buatan, dan dibangun di antara bangunan gereja dengan tembok kompleks gereja itu.

Walaupun lokasi gereja ini tepat berseberangan dengan kantor Polsek Lasem, tapi aku tidak akan meninggalkan Annette begitu saja di luar pagar. Kucari tempat yang sekiranya aman dan masih masuk dalam pengawasan. Walaupun terlihat ngawur, kuputuskan memarkirkan Annette tepat di depan pintu utama gereja. Toh di situ cukup teduh.




Pasti ada alasan tertentu mengapa memilih sudut kecil di samping gereja itu menjadi Gua Maria, karena dibalik tembok adalah jalan akses sebuah perkampungan yang ramai oleh hiruk-pikuk warga sekitar. Bisa saja ramainya suasana itu dapat mengganggu konsentrasi para peziarah, tapi bisa juga menjadi tantangan kontemplatif tersendiri dengan melakukan tapa ngrame atau bertapa didalam keramaian. Cukup teduh tempat itu dengan adanya dua batang pohon yang tumbuh, seakan menjadi kanopi hidup bagi para peziarah yang mengunjungi tempat itu. Sebuah sumur tertutup berada di tengah kompleks gua. Dua buah bangku kayu panjang bercat cokelat yang juga sudah terkelupas catnya disana-sini diletakkan di depan sumur, menghadap gua. Bangku kayu itu tidak terlalu panjang. Mungkin hanya bisa muat tiga atau empat orang dewasa tiap bangku. Di antara bangku dan gua terdapat sebuah pelataran yang tidak terlalu luas. Mungkin jika dipaksakan hanya dapat menampung sekitar dua puluh sampai tiga puluhan orang dewasa saja.



Mungkin bisa juga berkumpul di belakang sumur, menggelar tikar di atas paving blok yang sudah mulai berlumut. Tentu bisa muat puluhan orang lagi.
Tembok dingin gereja bercat putih tinggi menjulang di sebelah kanan kompleks gua. Sebuah jendela terbuka. Penasaran, aku melongokkan kepala ke dalam jendela dengan teralis besi menempel dari dalamnya. Berharap ada koster atau petugas kebersihan yang kepada mereka dapat kukorek lebih banyak lagi informasi mengenai tempat ini. Namun, lagi-lagi kosong. Hanya tatanan kursi umat yang senyap.



Kembali aku berjalan ke depan gua, duduk di salah satu bangku itu sambil sesekali menyeka keringat.



Sebuah liang gua yang kosong menganga berada di tengah-tengah susunan batu karang, sedangkan patung Sang Bunda berada di kanan atas gua itu. Sebuah prasasti berada di sisi kiri gua. Kotor dan tertutup rumput liar. Sejenak kubersihkan dari kotoran dan rumput untuk bisa jelas terbaca. 



Gua Maria Stella Maris, nama yang cukup indah. Rupanya baru diresmikan pada tahun 2004 lalu. Stella Maris bukan merupakan nama santo atau santa, melainkan bahasa Latin yang berarti 'bintang samudra' atau 'bintang laut'. Stella Maris merupakan gelar kuno bagi Santa Perawan Maria yang mulai diberikan pada abad ke-9, dimana Bunda Maria diangkat sebagai pembimbing dan pelindung mereka yang bekerja atau berlayar di laut, dan pelindung misi-misi Katolik bagi para pelaut, kerasulan di laut. Hal ini juga yang membuat banyak gereja di tepi/ dekat pantai yang diberi nama Stella Maris atau Maria Sang Bintang Laut, salah satunya gereja ini. Tak salah, karena memang Lasem merupakan kota yang berada tepat di garis pantai utara.

Sejenak berkeliling untuk melihat apakah ada hal menarik lain di dalam kompleks gua itu, sebelum aku berbalik menuju Annette untuk menyiapkan kamera. Rupanya ada sebuah detail di samping pintu masuk yang tadi luput dari pengamatanku. Tiga buah keran air. Keran biasa dengan instalasi pipa biasa. Oke, lalu apa istimewanya? Apakah pipa-pipa itu mengalirkan air bertuah yang dapat menyembuhkan penyakit atau mengabulkan permohonan? Atau mungkinkah air yang keluar dari keran-keran ini merupakan air suci dari Sang Bunda sendiri?

Tidak! Ini adalah air biasa yang dialirkan dari sumur di depan gua. Air biasa. Ya, air biasa. 

Lalu, apa istimewanya? Tentu saja sumur itu menjadi sumber mata air untuk seluruh kompleks gereja ini, dan air yang keluar dari keran yang sudah kuputar ini dapat kugunakan untuk mencuci muka dan menyegarkanku kembali setelah melalui lebih dari seratus kilometer perjalanan di cuaca yang terik siang itu.

Itu saja? Ya! Itu saja.Satu-satunya 'khasiat ajaib' yang kudapat dari air itu adalah kesegaran, dan aku makin siap untuk mengulik lebih dalam lagi.



Kembali ke dalam kompleks gua dan menyiapkan hati untuk sejenak berdoa. Tak lupa menyalakan aplikasi doa buatan decima yang kuunduh dari smartphone untuk memudahkan batinku menyusun kalimat doa pada-Nya.
Aplikasi-aplikasi doa Katolik untuk smartphone atau tablet berbasis Android dan perangkat BlackBerry dapat diunduh secara gratis dari Play Store (Android) dan BB World (BlackBerry) atau dari web page decima.



Memang tidak mudah berdoa dengan iringan 'alunan merdu' suara knalpot motor anak-anak tanggung beserta teriakan-teriakan mereka yang sering kali terdengar dari balik tembok itu. Jam pulang sekolah rupanya. Setelah menyelesaikan doa, kuputuskan kembali berkeliling berharap siang itu sudah ada petugas, pekerja, koster atau mungkin pastor yang datang ke gereja. Selain ingin mendengar lebih banyak cerita, tentunya aku tak ingin dicap sebagai penyusup atau pencuri oleh orang-orang yang melihat orang asing mondar-mandir di dalam kompleks gereja.

Sebuah pintu yang tak kulihat sebelumnya berada di tembok belakang gua. Ketika aku melewati pintu itu, sebuah pemandangan lain menyapaku. Sebuah lahan terbuka dengan beberapa pohon besar dan berdaun lebat memberikan kesan yang sejuk dan asri.

Tepat di belakang tembok gua, terdapat sebuah pelataran dengan patung Yesus berjubah merah ditahtakan di sudut tembok. Dari bentuk dan warnanya dapat kupastikan itu merupakan bangunan yang cukup baru.



"Itu rencananya dibuat untuk Kerahiman Illahi, tapi kami nggak dapat patung Kerahiman Illahi, adanya patung Yesus biasa, jadi ya terpaksa pakai patung yang itu." Sebuah suara dari belakang mengagetkanku.

Seorang lelaki berusia sekitar hampir empat puluh tahunan berdiri sambil menggendong seorang anak lelaki kecil. Tubuhnya tambun tapi tidak terlalu tinggi. Pak Ari. Memperkenalkan diri sebagai pengurus Stasi Lasem, sambil  tetap memandang penuh selidik kepadaku. Tak heran, karena tetiba ada seorang asing yang 'blusukan' sampai ke dalam halaman belakang gereja. 

"Tadi ada petugas bersih-bersih yang lihat ada (sepeda) motor besar parkir di depan gereja. Dia bilang ada tamu. Mungkin romo." Katanya lagi setelah aku memperkenalkan diri dan mengatakan maksud kedatanganku ke tempat itu.

"Saya kira Romo Wid, karena beliau juga suka pergi-pergi naik motor." Katanya sambil tertawa. Romo Wid adalah pastor pembantu Paroki Rembang, yang juga memprakarsai pembangunan Pondok Maria Medali Wasiat Jatirejo, di selatan Rembang (baca ceritanya di sini).

Syukurlah, suasana cepat menjadi cair dan dia tidak lagi mencurigaiku sebagai orang yang punya maksud buruk.


Berjalan menuju tengah halaman belakang gereja, bagiku lebih mirip sebagai hutan kota. Tepat di belakang bangunan gereja terdapat sebuah bangunan kecil lagi. Gonggongan anjing mulai terdengar lagi, kali ini dari dalam bangunan itu. Setelah kudekati, rupanya beberapa kamar mandi dengan pintu besi. Seekor anjing berbulu putih terus menyalak dari dalam. Mungkin sengaja dikunci di dalam kamar mandi itu. Seekor lagi yang berbulu hitam mendekatiku sambil mengibaskan ekornya. Gonggongannya tak sekeras 'saudara'nya. Mungkin karena mereka mencium bau yang tidak asing, maka keduanya mulai berhenti menyalak dan setelah pak Ari membuka kunci pintu besi kamar mandi, dua ekor anjing itu memberanikan mendekatiku.



Yang menarik perhatianku, terdapat sebuah kolam dengan patung batu Yesus dengan tangan terbuka di tengahnya. Ikan-ikan mas berkeriapan di dalam kolam itu. Mungkin jumlahnya belasa, atau bisa juga puluhan ekor di dalamnya. Patung batu itu mengingatkanku pada landmark kota Rio de Janeiro di Brazil sana, hanya saja ukuran di sini jauh lebih kecil. Mungkin hanya sebesar dua kali ukuran tubuh manusia dewasa.




Kolam itu terletak di sisi paling utara kompleks gereja. Di tembok terluar kompleks gereja tertempel beberapa banner. Aku tidak terlalu memperhatikan apa saja tulisan di dalamnya. Aku lebih tertarik pada sebuah papan usang yang diletakkan di sudut dinding, bersama dengan tumpukkan kayu-kayu usang dan beberapa bekas perancah bangunan. 
"Dilarang memancing, ikan milik Mudika" yang tertulis dalam papan itu.

"Setelah Misa Paskah Minggu pagi besok (20 April 2014 -red) mau ada lomba mancing di sini mas. Kalau berminat boleh kok ikut, buat senang-senang aja" ceritanya sambil tertawa, sementara anaknya sibuk berlarian di pinggir kolam menghalau ikan. 



Di sebelah timur kolam, terdapat bangunan yang dibuat lebih tinggi. Sebuah bangunan yang luasnya setara dengan dua kali lapangan voli, tanpa dinding di tiga sisinya. Hanya sebuah tembok setinggi sekitar enam puluh sentimeter. Sangat pas untuk duduk-duduk. Sebuah ruang serbaguna atau aula dengan sebuah panggung permanen dari beton di bagian depan. Sebuah banner kegiatan masih tertempel di papan tulis di tembok belakang panggung itu.




Pak Ari mengajakku masuk. 

"Kemarin baru saja ada sarasehan di sini, jadi belum semua dibersihkan." Ujarnya sambil menunjuk pada banner dan meja-kursi yang masih berserakan. "Kalau minggu untuk acara Sekolah Minggu (PIA)" sambungnya lagi.




Sepoi angin membuaiku. Peringatan dari pak Ari mengurungkan niatku untuk berjalan melihat-lihat ke sekeliling aula, "Hati-hati, mas! Di sana banyak ular!"

Baiklah....hehe..

Di sisi paling timur kompleks gereja terdapat sebuah bangunan baru berbentuk panjang yang terbagi menjadi beberapa ruangan. Kata pak Ari, ruangan-ruangan itu nantinya akan difungsikan sebagai panti gereja atau ruangan untuk kerja seksi-seksi gereja.



Ada satu sudut kecil yang menarik perhatianku. Terletak di depan kolam, namun tak jauh juga dari aula tadi. Sebuah gubug kecil yang terbuka. Di dalamanya terdapat sebuah gerobak angkringan kosong. Sebuah pemanggang kotor, kompor dengan dua buah ceret besar khas angkringan ada di atasnya dan tak ketinggalan meja untuk racik. Ada beberapa daun bawang kering yang masih tersisa di atasnya. 



Lalu, kenapa ada lapak angkringan di dalam kompleks gereja? Apakah sang empunya menitipkan pelbagai piranti di dalam kompleks gereja pada waktu siang hari dan mengambilnya saat senja untuk berjualan? Teori yang cukup bagus. Menurutku.

Tapi ternyata jawaban yang benar ialah, "Itu memang milik gereja, mas. Tiap malam minggu ada acara mancing ikan dan bakar-bakar di sini. Nggak cuma mudika, tapi sampai orang tua juga ikut."

Lah, jadi ikannya bisa habis dong kalau tiap malam minggu dikonsumsi?

"Tenang, disini banyak donatur benih ikan. Jadi kalau ikan sudah sedikit, biasanya sudah ada beberapa umat yang menyumbangkan benih ikan untuk kolam gereja ini." Jawab pak Ari lagi yang kemudian menambahkan ceritanya.

Sama seperti lahan untuk gereja ini juga merupakan donasi dari umat. Tanah seluas ini dulunya milik pribadi. Seorang Tionghoa. Karena banyak umat Katolik yang mau beribadah, pada awalnya keluarga ini 'meminjamkan' rumah mereka sebagai tempat ibadah. Namun lambat laun, mereka memutuskan menghibahkan tanahnya untuk keuskupan, yang selanjutnya dibangun gereja ini. Memang, Gereja St. Maria Immaculata Lasem ini masih berstatus sebagai stasi dari Paroki Rembang. 

Sayang cerita harus terputus karena sang anak rewel dan minta diantar ayahnya untuk pulang, namun sudah banyak informasi dan cerita yang saya dapat dari beliau. Tentunya ada beberapa cerita yang tidak dapat dituliskan dalam blog ini, mengingat segi sensitivitas dan privasi dari beberapa pihak.

Meneruskan penjelajahan di kompleks gereja ini hingga hari hampir sore, dan artinya saya harus kembali melanjutkan perjalanan.

Cerita ini memang lain dari biasanya. Ketika saya mengunjungi tempat ziarah berupa Gua Maria atau pondok doa, maka kali ini tidak hanya Gua Maria Stella Maris, Lasem saja yang saya angkat, namun juga kekayaan gerejani yang ada dalam kompleks Stasi Lasem.

Jika Saudara/i berminat berkunjung, tempat ini sangat mudah dijangkau dari Jalur Pantura Jawa Tengah, karena tepat berada di seberang kantor Polsek Lasem. Mengendarai kendaraan pribadi maupun angkutan umum, akan sangat mudah mencapai tempat ini. Jaraknya kira-kira 120 km ke timur dari Semarang, Jawa Tengah. Jika Anda memiliki perangkat GPS, dapat mengatur arah perjalanan melalui koordinat 6° 41’ 40.2” LS (S), 111° 26’ 21.85 BT (E).


Selamat berziarah,


Salam, Doa dan Berkah Dalem :)

Komentar